YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 27 Mei 2014

Siasat Dalam Hujan

Membohongi diri
dalam hujan ialah
muslihat teruntuk kalian
yang letih, punggung berpeluh
bersilih pada dingin di kaki

Mengubur diri
dalam hujan ialah
siasat sembunyikan hati
yang suah sakit, suah lelah
endapkan rasa,
diserbu malu akan ikrarmu
yang tak kunjung kutemu.

27.5.2014
Pangkalpinang

Senin, 26 Mei 2014

JARAK

Hapus jarakmu itu
dengan aku seperti sedia
kala; serempak bercanda,
serentak ungkapkan cinta.

Lenyapkan jarakmu itu
karena aku melulu rindu
akan panas yang sempat
melingkupiku amat sesak.

Luputlah jarakmu itu;
mustahil kau tahu aku
lelap genapkan yang dulu,
seiring hujan kelabu
mencucup tanah depan rumahku

26.05.2014
Pangkalpinang
Akuorangindo

Minggu, 25 Mei 2014

Menuju Langit Ketujuh, Takutku Kelak Sayapku Rapuh

Berterbangan bersama sejuta
apa jelas tujuanmu ataukah
diombang ambing bimbang,
dirimu?
Sempat kukenal mereka
yang hindari kawanan
pernah dianggap jalang,
pengorbanan dan keteguhan,
tapi hidupi impian.
Saksikan buktinya, aku,
mereka yang terbang jauh
telah sampai langit ketujuh
di mana mimpi mereka penuh
dan masalah pun tidak, peluh.
Sebab, direngkuhnya mimpi itu;
rasa takut adalah tabu,
semestinya dibakar jadi abu.

Dan mimpi besar, aku dambakan.
Sebuah puncak, kata kata berarak,
kalimat menyumbat dunia,
cerita mengalun jiwa,
puisi merajut rasa.

Meski takut mewujud tabu;
semestinya dibakar jadi abu,
terpikir aku kerap
bilamana rapuh nasib sayapku
apakah mimpi itu kelak lenyap?

25.5.2014.
Pangkalpinang
Teruntuk aku beserta impian yang amat kucinta.

Sabtu, 24 Mei 2014

Terlantas Kasih

Larangku kau ajukan pergi,
sebelum sempat kau pelajari
kami telah terlantas kasih.
Pergi kau lari,
kelak 'kan terasa pedih
bagi kami.

24.05.2014.
Pangkalpinang
Teruntuk seorang guru.

Harap Si Embun

Katakan perpisahan, jangan,
embun waktumu sementara,
tapi daun menjagamu, akan,
upayanya genggam dirimu.

Tapi, ujarmu, harapku
rawan hilanglah pedih
ini,
sebab telah aku dengar
dari saudaraku sebuah kabar,
bahwasanya ajarku sementara.
Ajar lelagu embun padamu, daun.
Jangan cintai aku yang fana;
itu bakal membuat jatuhku,
pergiku, lebih mudah.

24.5.2014.
Pangkalpinang
Diragukan apakah pantas puisi ini teruntuk kamu

Antara Embun dan Air

Umpamanya, kau tukang tenun
membentang embun
mana jatuhkan sejuk
untuk kami reguk.
Tak diragukan, embun terasa
asing awalnya, sebab kami telah
meminum air dilarut jenuh.
Tapi kau hanya tukang tenun
yang menghasilkan embun.
Tidak dikira, kau datang,
tinggalmu tumbuhkan sayang,
pula itu terikat kami pada
sejuk embun di gersang tanah.
Berakar, ikat itu, sampai takut
kami, kau dipaut pergi.
Terlintas di wajah, masam senyum kami,
bilamana kau dibawa lari,
air tawar itu minum sehari-hari,
padahal kami candu tagih
embun yang berkasih.

24.05.2014
Pangkalpinang
Teruntuk seseorang yang berjasa mewarnai kehidupan di sekolah tapi terpaksa pergi.

Jumat, 23 Mei 2014

Cinta

Menghancurkan dinding
adalah badai yang bergending,
tanah tak lagi rata.
Tapi menghancurkan aku
mustahil itu kamu,
cinta.

Ragu, Sepi, dan Malu Berpadu

Ragu dalam diriku bergetar
layak embun yang menunggu diantar
menuju tanah ia kelak hilang.

Sepi dalam diriku berteriak
layak burung yang dikungkung
dan akan terbang menuju gunung.

Malu dalam diriku merekah
wajahku dapati sang elok, merah
mewarnai pipiku sebab
aku merasa cinta kepada kedip matamu
aku merasa cinta kepada embus napasmu
tapi malu yang ditemukan aku.
Mengulurku menjauh dari hadirmu
padahal aku mencintaimu.

Teruntuk kamu.
22.05.2014
Di atas kursi hijau, menulis puisi dan meratapi kekalahan.

Hantu Sungai, Aku, dan Kamu

Tidakkah kau mengingat kali pertama kita bertemu? Dalam canggung dan keacuhan, meneguhkan gengsi semasing. Aku pikir kau suka meludahi ibumu. Kamu pikir aku suka membunuh anjing. Pertemuan pertama kita berakhir buruk, dan keesokannya kau menuduhku. Tuduhanmu bersanding dengan tawa. Amarahku merembes sebab kau meledekku dengan orang yang kusayang.

"Kau pernah menciumnya. Ayolah, mengaku saja. Bibirmu berbeda dari seisi sekolah. Aku jadi bertanya-tanya standarmu serendah apa karena dia sangat culun," ledekmu tepat di depan wajahku. Suaramu besar dan mustahil aku untuk percaya bahwa orang yang kau acu tak mendengarnya.

Mencium: aku kelewat malu untuk hal (sebesar) mengaitkan bibirku ke bibirnya. Meski tak jarang nafsuku mendambakan lengket liurnya dalam relung mulutku.
Dan mengenai betapa aneh bibirku, itu dikarenakan ketipisan bibir serta kebiasaan untuk mengulum bibir bawahku. Aku menginginkan ciuman dan bibir sendiri menjadi korban hasratku.

Masa bodoh akan ledekmu (kala itu aku masih berpikir dia tidak seculun yang kau katakan, ia sempurna), aku menarik diriku dari kobaran amarah. Melangkah jauh darimu. Kukira telah cukup aku membangun jarak di antara kita. Namun, rupanya kau terus mendekat. Kau jalan beriringan denganku pulang. Belakangan baru kuketahui rumahmu ada di seberang kali depan rumahku.

Kali yang tak pernah kuseberang. Tapi ketika tahu kamu tinggal di seberangnya, sudah menjadi rutinitas melangkah lewati sealiran air itu. Menuju rumahmu; tempat nyaman mengobrol dan mendengar candaanmu. Candaanmu ketika baru saja aku diputus oleh dia (yang kau kata culun). Candaan yang terus kaulontarkan, menjebakku dalam euforia tanpa sadar satu tahun telah pergi dari genggamanku. Aku menanggapi apa yang lari dariku dengan senyuman. Setidaknya itu lari dari kita berdua.

"Menanggungnya berdua," katamu.

"Aku tidak percaya bersahabat dengan orang yang kusangka sering meludahi ibunya."

Itu terbukti salah. Kau tidak pernah meludahi ibumu sebab wanita terkasih itu telah tiada. "Menghilang ditelan hantu sungai." Suaramu seolah melemparkan sampah ke sungai.

Saat itu aku melihat sebuah riak air menampak, mengaburkan bayanganmu di atas kejernihannya. Dan aku melihatmu mencium sesama jenismu. Kau melilitkan lidahmu kepada lidah seorang perempuan yang mendesah senang. Tidak akan pernah kauketahui kenapa senja itu aku tergopoh-gopoh ke rumah. Aku melihat perempuan itu, jelas. Perempuan itu aku. Aku memang menginginkan ciuman. Aku memang menginginkan persahabatan. Tapi aku tidak menginginkan itu: gairah di antara sesama jenis.

Aku menggelengkan kepala, meyakinkanmu aku tidak apa-apa ketika kau bertanya ada apa gerangan. Memanfaatkan tumpukan latihan matematika di hadapanku, aku beralasan, "Aku sedang mengerjakan soal luas permukaan limas. Hanya itu."

Padahal tidak bisa kusangkal bahwa otakku terpaku pada bayanganmu menciumku. Aku merasakan gairah, tapi juga takut. Takut bilamana seandainya kau serupa apa yang menjelma di permukaan kali. Permukaan kali di depan rumahku itu gaib, ibu pernah mengingatkan aku. Jangan pernah kau bermain di sepanjangnya. Ia bisa mencium rasa takut dan nafsumu. Mengantarmu ke dalam pelukan ajal. Jiwamu akan dipermainkan di dalamnya. Jiwamu akan memasung kepadanya dan tak ada pilihan selain mencari tumbal selanjutnya. Demi kebebasan menuju akherat.

Tapi senja kemarin kita bermain di sepanjang sungai. Duduk sambil menikmati angin yang katamu adem. Menurutku, angin sore itu menusuk wajahku dengan golok. Dan aku ikuti kau memasukkan ujung jemari kakimu ke dalam air. Kau bilang airnya menyejukkan. Menurutku, air itu lengket dan amis, menarikku ke dasarnya. Aku mengangkat kakiku secepat kilat takut dihisap. Rasa takut bergemuruh sementara aku menjaga senyuman mengikuti arah bicaramu.

"Datanglah ke rumahku siang ini, Dina."

Aku berhenti sebelum kakiku sempat memijak aspal depan sekolah. Kau menggandeng tanganku, membelai lenganku. Bergidik, buluku meremang, sesegera mungkin aku menyibak sentuhannya dari tubuhku. Aku melihatmu keheranan. Apakah wajah jijikku mengejutkan bagimu? Tanpa berniat meminta maaf, aku berlari pulang. Dalam perjalanan doa terus terucap dari bibirku. Doa agar kau tidak seperti apa yang sungai perlihatkan padaku.

Sungai itu bergejolak. Telingaku mendengar arusnya seakan mengangkat dan hendak menenggelamkan penjuru dunia. Ketika menghadap belakang, kulihat dirimu bangkit dari sungai. Matamu merah dan dalam rangkulanmu adalah seorang perempuan. Anak kelas sebelah, cekikikan. Apakah ia sama sepertimu, seorang penyuka sesama jenis? Kalian berjalan tanpa tahu rasa malu. Kalian berjalan, mengira tak akan ada yang melihat. Tapi aku melihatmu. Dan teman barumu.

Tampaknya kau menanggapi keinginanku dengan baik. Aku ingin menjauhimu dan kau pula meninggalkan aku sendiri. Mulanya aku merasa amat puas. Aku bebas darimu, hei, setan penyuka sesama jenis. Tak perlu lagi aku takut kelak kau menciumku tetiba. Tak perlu lagi aku gelisah kau meraba kulitku. Tak lagi aku menjumpaimu di rumah. Tak lagi aku harus menyeberang kali gaib itu.

Dan tak seharusnya lagi aku panas hati melihatmu dengan teman barumu. Anak kelas sebelah yang kaurangkul dua bulan yang lalu. Bercandamu, yang kuanggap hanya untukku, terlontar sekarang untuk perempuan berlesung pipit itu. Aku tak tahu apa yang pandanganku sampaikan padamu. Namun, ketika melihatku, kau kabur seolah dikejar hantu. Raut wajahmu penuh ketakutan dan terror. Aku menakutimu?

Seharusnya aku yang takut padamu, dasar penyuka sesama jenis.

Berniat pun tidak aku menakutimu. Aku cemburu. Kau bersama teman baru sesudah kau menelantarkan aku. Kau membiarkan aku sendiri. Bukan. Aku yang membuatmu menjauhi aku. Segala kehendak itu adalah milikku. Padahal, mulanya aku hanya hendak melarikan diri dari jeratmu. Jerat yang kutakutkan, memang ada. Namun sekarang, semuanya menyerangku balik. Kau tidak sakit hati sesakit aku. Kau memiliki teman baru dan
kau senang. Aku bersudut di pojok seakan kau tak pernah mendeklarasikan persahabatan kita.

Ingin aku kita kembali berteman. Kembali bersahabat. Pulangku akan menuju rumahmu lagi. Candamu akan hanya kepadaku lagi. Genggaman tanganmu tak akan aku lepas lagi. Siasat gaib hantu sungai tak akan aku pedulikan lagi. Aku ingin menjadi sahabatmu lagi. Berada di setiap sudut pandangmu. Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan.

Dan aku memang, benar-benar, akan memberikanmu yang kau inginkan. Bila kau menolak pun aku akan memaksa.

Terduduk di teras rumah, aku menunggu kepulanganmu. Suara sepatumu mengetuk tanah ditangkap telingaku. Setangkas mata-mata, aku bersembunyi di balik pintu. Aku tidak ingin kau melihatku. Aku akan memberikanmu kejutan. Kejutan yang pasti akan kau sukai. Ketika pintu rumahmu menutup, membungkusmu di dalamnya, aku berlari. Menapaki jembatan kali, menginjak kotoran ayam milik ayahmu. Waspada aku memutar kenop pintumu. Tidak dikunci.

Aku masuk. Menghirup udara yang membawa aroma khasmu. Memejamkan mataku membuat bayangku berterbangan ke langit ketujuh. Aku ingin merengkuhmu. Aku ingin memilikimu. Hanya untuk diriku. Aroma rumahmu memabukkan. Kalau bisa, aku akan menangkap udara dan memeluknya. Tapi itu mustahil. Semustahil kau akan membenciku setelah apa yang kelak kulakukan padamu.

Punggungku menyentuh dinding kamarmu. Lagi-lagi aku bersembunyi. Entah mengapa aku rasa kau akan menolak kehadiranku. Dan aku takut akan kemungkinan itu. Kau masuk, menutup pintu kamar. Tak sadarkah kau aku di belakangmu? Sekuat tenaga aku mendorongmu ke atas ranjang. Matamu membeliak tidak percaya.

Kau meronta-ronta saat tanganku menjelajahi bibirmu. Teriakmu kuredam dengan ciumanku. Ciuman yang sang sungai ajarkan padaku. Melilitkan lidahku padamu dan merasakan sensasinya; panas. Ditambah gerakmu di bawahku, kian aku merasa gairah membuncah dalam diriku. Kuku tajammu mencakar punggungku. Mencabik wajahku. Bahkan mataku pun menjadi sasaranmu. Kucium darah mengalir di sisi wajahku. Jadi, kau menolak?

Aku keluarkan pisau dapur yang kusimpan. Pisau itu kutekankan ke lehermu. Mulutmu segera membentuk sebuah garis. Tanda penyerahan dan geming. Aku melanjutkan apa yang tak usai aku tandaskan. Tak kusangka menciummu terasa lebih menyenangkan daripada hanya membayangkannya. Meski bibirmu terkadang menutup. Meski gigimu terkadang menggigit bibirku. Meski terkadang kau banting kepalamu padaku. Meski bibirmu dingin dan biru. Rupanya, pisau itu menempel terlalu dalam ke lehermu.

Tapi ini apa yang kau inginkan. Kau inginkan diriku. Aku ingin persahabatanmu dan telah berjanji akan mengabulkan apa yang menjadi keinginanmu. Keinginanmu, hei, sahabatku. Kepalaku menengadah, melihat bayanganku di cermin yang kau letakkan dekat ranjang. Merah, itu warna mataku.

Diriku menciut. Basah aku oleh keringat nafsu dan ketakutan. Aku menunduk dan mendapati mata hitammu mendongak ke atas; menunjukkan ketiadaan. Merah, itu warna mataku. Bukan matamu.

22.05.2014
Pangkalpinang.

Lama Dari Sekadarnya.

Tidak perlu aku lagi,
meyakinkan diri
lantaran bulat sudah
yakinku merasa
bahagia,
kau lembut pegang tanganku
lebih dari sekadarnya.

Kerinduan Pada Dirimu.

Aku rindu.
Rindu tawamu, sipit matamu,
tegap tubuhmu yang mana
mengisi kehampaan lorong, selalu.
Tahu aku, ini rindu.
Sebab melihat ke jalanmu, akan
terbayang aku, dirimu, di kanan.
Dan kau kembali,
membawa pedih karena kau
mengoyak hati sampai rasanya sakit
yang teramat sakit.
Menjauh aku darimu; kiraku kau
beracun.
Polusi bagi paru paruku, tikaman
bagi jantungku, mana kerap berdentam
kali setiap lirikmu mencuri napas milik
aku.
Aku pernah rindu padamu, suatu
tak pernah kuduga di kelampauan
tapi ketika rasa itu menghantam,
tidak mampulah aku elak
kangen yang merambat.
Dan aku akan selalu rindu padamu,
berasaskan senantiasa lelagu.
Karena sekarang kau racun,
kangen aku pada bibir ranum
milikmu, pernah mengungkung hatiku
dengan kekuatan katamu.

Kepada kamu yang tidak tahu betapa sesak hatiku. Aku hanya ingin melihatmu berpedih kehilangan aku. Maaf.
22.05.2014
Pangkalpinang.

Kepada Kamu

Bolehkah aku anggap kau ilusi?
Karena jejakmu begitu nyata,
namun bayangmu tidak terjamah.

Sisa Hadirmu

Kau adalah segalanya yang tak pernah kuharapkan. Segala yang datang mendadak, menerjang tanpa ampun. Segala yang membayangi mimpiku dengan lekat bibir panasmu. Segala yang tadinya asing dalam jumlah dentum jantungku. Segala yang, bagiku, adalah segalanya.

Padahal, aku tidak pernah menyangkamu. Kau muncul dalam ketidakmungkinan. Membimbingku yang tersesat diombang-ambing ombak cinta masa lalu. Kau hampiri aku, tidak diduga dan tidak diundang. Oh, di antara senyum manismu, kau berdosa;  karena datang tanpa isyarat. Maka dari itulah aku merasakan sakit ini.

Cemburu. Dan kepasrahan.

Bahwa ternyata kau telah mencintai yang bukan aku. Dari rona pipi hingga lentik bulu matanya, aku bukan tandingannya. Sebelum menghadap perang, aku mengalah. Karena aku tahu, bahwa relung hatimu sempit. Kau tidak dapat menampung aku dan dia sekaligus. Apalagi, karena dia telah lama di sampingmu. Lebih banyak yang kau kenal tentangnya, daripada siapa namaku.

Tapi, kemudian, kau membawa harapan kepadaku. Mengenalku dan tertawa bersamaku. Berbincang denganku meski kau pelajari sudah aku menghabiskan waktumu. Dari pancaran sinar matamu, kukira itu cinta. Bermimpi itu hasrat. Karena aku merasa nyaman dan kau tidak menolak kehadiranku. Lagi, tindakmu membayang tidurku.

Mungkin ini saatnya aku mengakui bahwa angan-angan memang kejam. Mengira kau miliki sedikit rasa terhadapku. Mengira kau lebih memilih aku. Mengira kau bisa melupakannya. Mengira kau akan menjadi milikku. Nyatanya, pandanganmu tertuju hanya pada gadis cantik itu.

Aku kembali melihatmu dari jauh. Asumsimu aku menghindarimu. Padahal, aku lebih mengartikannya sebagai: aku tidak ingin terluka lebih dalam lagi. Karena aku hanya ingin dirimu untukku. Api iri membakar jiwa yang memujamu. Cemburu ini, tanda cintaku harus memilikimu. Tapi kau berandal yang merusak kurunganmu. Aku tidak bisa memilikimu sepenuhnya. Hanya sisa eksistensimu. Aku miliki kenangan hadirmu.

Ketika Fantasi Mengambil Alih Narasi

Lucien menelusuri rambut Adele dengan kepelanan sensual. Sesuatu dalam diri Adele membuncah dan memuncak.
"Ketika aku melihatmu, aku merasakan ketertarikan yang sangat tidak pantas, Adele," ucapnya, "belakangan, kuketahui bahwa aku diciptakan untuk melindungimu. Aku naga. Dan aku pelindungmu."

Jemari Adele menemukan rahang pria itu dan membelainya. Ini adalah apa yang ia impikan tiap malam. "Tapi jangan biarkan aku melihatmu terluka."

"Itu tidak sebanding dengan melihatmu terluka."

Lalu, mereka dipersatukan gairah. Mimpi yang selama ini dipendam, mengawan dan menguap. Kabut. Kamar itu berkabut.

Random Snippet of Born of Fire

Tentu saja aku akan membebaskanmu, Sayangku," ujarnya sembari tangan keriputnya menangkup kedua pipiku. Aku bergidik saat mata cacatnya bergerak menelusuri wajahku. "Dengan satu syarat."

Aku tidak terkejut. Dia itu ular. Dan ular selalu meminta imbalan atas kebajikan yang ia lakukan.

Aku menarik diriku darinya. Dua blasteran di belakang menahanku keras. Pergelangan tanganku dikunci pada punggungku. Terpikir olehku untuk menyikut wajah keduanya dengan cepat dan menyelamatkan diri dari situasi menegangkan ini. Dari depan wajah ular sinting Jerome. Namun, kuketahui bahwa perlawananku akan berakhir percuma. Walaupun aku cepat, aku tidak akan bisa menandingi ketangkasan dua blasteran berbadan besar.

Jadi, kuangkat daguku seperti biasa. Bersikap angkuh dan penuh perhitungan. Tidak ada satu apapun yang tidak bisa kulakukan. Aku Astrid. Aku bisa. "Dan apakah itu?"

Mata Jerome menyipit, giginya yang tak rata tampak. Tersenyum congkak. Seakan-akan ia telah memenangkan duel gladiator tahunan. Aku tidak menyukainya dan menahan ludah yang sedari tadi hendak kulemparkan kepada wajahnya. Kebebasanku berada di tangan profesor gila ini.

"Syarat yang kumaksud adalah," ucapnya lambat-lambat seraya memandangku dengan tatapan malas, "izinkan aku mengujicoba DNA-mu, sayang."

Itu bencana.

Harapan Muluk

Berikan aku setitik harapan
Bahwa ketika kamu menoleh
Kamu melihat aku
Bukan yang lain

Kembangkan pada aku setitik harapan itu
Bahwa ketika aku menghubungiku
Kau tersenyum
Tuju padaku

Kamu adalah wadah harapanku.
Poros hidupku
Karena selain hidupku bergantung padamu
Harapanku berpusat padamu.

Pengakuan Pada Diri Sendiri

Bolehkah aku menduga
sesungguhnya ini sakit hati yang kurasa
tiap bicaranya kudengar, bukan uraian cerita
melainkan luka lama

Teruntuk aku dan hanya diriku

18. 04. 2014.
Pangkalpinang

Renungan Diri

Bahwa satu malam itu, sadar aku
mudah terpengaruh, buta rasa
Dikatakannya segala percaya kusandarkan.
Kupikir, karena ia kawan
Tapi, siapa ia di antara kami
Yang merajut rasa dari mata melirik semata
Yang tentang dan benci diarungi kami,
menemukan kasih teramat sayang

Katakan betapa aku bodoh
Terpengaruh omongnya, yang kadang
sungguh aku tak rasa demikian
karena ia tak seperti yang kukira
dan ia tak seperti yang jejaki mata
ataupun aroma tipunya
yang aku tiap hari hirup
Ia sesuatu lebih sekedar dari
apa yang pikir dan hati perangi
Ia teka teki
Dipecahkan, bukan artinya disalahkan,
tatkala menebaknya aku tak sanggup

Renungan diri yang teruntuk aku.

14.04.2014. Pangkalpinang.

Coretan

Bibirnya mengecupku di antara keremangan lampu. Ah, betapaku mengharap sekejap bermakna keabadian.

Aku Menunggu

Aku ruang senyap setia ditemani
rembulan. Menoleh ke belakang dan
bertemu pedih. Menengadah, bersua
ketidakpastian.

Pernah berandai melambungkan imaji
terlalu tinggi. Kabut gairah menjelma
bunga malam. Napas rindu
membuat lapar sekujur tubuh
akan sebuah tunggu.
Merah menyinari senyum dan pipi,
aku nanti selalu.

Tapi terlalu jauh. Dewi, meski
setia berakar dalam dirimu
kasih kau sorotkan.
Aku jemu, karena jarak ini.
Hasratku mendekapmu, kuat.
Hasratku mengukungmu, tangguh.
Hasratku menguasaimu, dalam.

Adalah jarak terentang, sebuah musuh
teruntuk aku.
Dan kau, masa lalu, jauh
serta tak mampu kugapai, aku runtuh.

Hei. Andai saja aku tidak begitu jauh,
menjadikan aku milikmu, maukah kau?
Dibanding aku menunggu pintu
yang tidak diketukmu
sebab aku tahu kau diciptakan
menggantung diri sebagai rembulan.
Menyinari jalan,
tapi tidak teruntuk kusayang.

Teruntukmu seseorang nun di Pulau Jawa. Aku bahkan tak yakin kau masih ingat cinta yang lampau.
6.5.2014.

Meskipun Begitu

Intinya adalah diri kau,
cermin.
Masa lalu menggenang,
ungkapan masa depan.
Tatap bertemu, aku, tatkala itu,
tahu detik ini
tidak akan terbuang tanpa sia.
Sebab sadar menghantam,
aku yakin hari ini takkan
membuahkan kecewa.

2014.

Kau Tidak Pernah Mengizinkanku Merasa

Bilamana rasaku,
merupa bom waktu yang
dengan detik dia bertentang
pastikan aku kehidupan menit tak
habis kegigihan besi jarum tuju maut.
Sebagaimana dadaku sesak
dikuasai tunggu tapi,
berhadapan tipu muslihatmu,
mesti aku.

Barangkali aku kelak dengar dentuman
kencang, ketika saatnya tiba.
Lapis emosiku, dia hamburkan.
Jelma ia sebuah kobaran,
mana yang tak akan kau lupakan.
Bermain api, riak kemarahan
mungkin tak akan lagi padam, dan
dalam sekali
desak aku kepada sanubari 
singkirkan dirimu,
lagi.

Mencinta aku masih, tetapi.
Tidak setega itu aku mengayak rasa
yang terbenam oleh karena
kamu.
Sebab bagaimana walau
tidak jerempak aku pada
hati kecil harapkan,
kuaku aku setia.
Keterlaluan malah.
Dan sakit terasa di dada,
kausuka dia kuduga.
Aku tidak pernah kaucinta,
kurasa.

Teramat untuk seseorang yang sedekat teman baik, seolah olah memberikan harapan palsu, menjauhkan hati yang kurasa tak pernah merasa satu.
18.05.2014. Pangkalpinang
Di ataa sofa mendengar lagu EDM yang benar benar tidak sesuai dengan puisi melankolis seperti ini.

Takut

Sesederhana itukah?
Semudah matamu memejam,
merasakan ucapku merambat dan
merasuki genderang telinga
milikmu yang kurasa,
teruntukku berkata.

Tapi, sukaku lebih kepada saat
bulu matamu menyentuh pipi, meresap
lafalku.
Karena ketika diharuskan pandangku
membalas lirikanmu,
merah warna elokkan pucat wajahku.
Hei, aku malu dan kau pun begitu.
Namun, aku masih merajut kata,
dan terus kau mengatup mata,
Sebab meski malu meraja,
kau dan aku ingin pertahankan keindahan
yang dua kali terungkap,
tidak akan.

Apakah ini cinta? Mungkin saja.
Tapi kita masih bermalu rasa
terkadang aku merasa sia.
Pun kueluh,
takutku kau menjauh.

Teruntuk seseorang yang mampu mengembangkan senyumku tanpa berusaja sedikit pun.
9.4.2014.
Di kamar hotel dengan selimut kasar dan seorang teman yang berbaring pasrah, tak bisa tidur.