Tidakkah kau mengingat kali pertama kita bertemu? Dalam canggung dan keacuhan, meneguhkan gengsi semasing. Aku pikir kau suka meludahi ibumu. Kamu pikir aku suka membunuh anjing. Pertemuan pertama kita berakhir buruk, dan keesokannya kau menuduhku. Tuduhanmu bersanding dengan tawa. Amarahku merembes sebab kau meledekku dengan orang yang kusayang.
"Kau pernah menciumnya. Ayolah, mengaku saja. Bibirmu berbeda dari seisi sekolah. Aku jadi bertanya-tanya standarmu serendah apa karena dia sangat culun," ledekmu tepat di depan wajahku. Suaramu besar dan mustahil aku untuk percaya bahwa orang yang kau acu tak mendengarnya.
Mencium: aku kelewat malu untuk hal (sebesar) mengaitkan bibirku ke bibirnya. Meski tak jarang nafsuku mendambakan lengket liurnya dalam relung mulutku.
Dan mengenai betapa aneh bibirku, itu dikarenakan ketipisan bibir serta kebiasaan untuk mengulum bibir bawahku. Aku menginginkan ciuman dan bibir sendiri menjadi korban hasratku.
Masa bodoh akan ledekmu (kala itu aku masih berpikir dia tidak seculun yang kau katakan, ia sempurna), aku menarik diriku dari kobaran amarah. Melangkah jauh darimu. Kukira telah cukup aku membangun jarak di antara kita. Namun, rupanya kau terus mendekat. Kau jalan beriringan denganku pulang. Belakangan baru kuketahui rumahmu ada di seberang kali depan rumahku.
Kali yang tak pernah kuseberang. Tapi ketika tahu kamu tinggal di seberangnya, sudah menjadi rutinitas melangkah lewati sealiran air itu. Menuju rumahmu; tempat nyaman mengobrol dan mendengar candaanmu. Candaanmu ketika baru saja aku diputus oleh dia (yang kau kata culun). Candaan yang terus kaulontarkan, menjebakku dalam euforia tanpa sadar satu tahun telah pergi dari genggamanku. Aku menanggapi apa yang lari dariku dengan senyuman. Setidaknya itu lari dari kita berdua.
"Menanggungnya berdua," katamu.
"Aku tidak percaya bersahabat dengan orang yang kusangka sering meludahi ibunya."
Itu terbukti salah. Kau tidak pernah meludahi ibumu sebab wanita terkasih itu telah tiada. "Menghilang ditelan hantu sungai." Suaramu seolah melemparkan sampah ke sungai.
Saat itu aku melihat sebuah riak air menampak, mengaburkan bayanganmu di atas kejernihannya. Dan aku melihatmu mencium sesama jenismu. Kau melilitkan lidahmu kepada lidah seorang perempuan yang mendesah senang. Tidak akan pernah kauketahui kenapa senja itu aku tergopoh-gopoh ke rumah. Aku melihat perempuan itu, jelas. Perempuan itu aku. Aku memang menginginkan ciuman. Aku memang menginginkan persahabatan. Tapi aku tidak menginginkan itu: gairah di antara sesama jenis.
Aku menggelengkan kepala, meyakinkanmu aku tidak apa-apa ketika kau bertanya ada apa gerangan. Memanfaatkan tumpukan latihan matematika di hadapanku, aku beralasan, "Aku sedang mengerjakan soal luas permukaan limas. Hanya itu."
Padahal tidak bisa kusangkal bahwa otakku terpaku pada bayanganmu menciumku. Aku merasakan gairah, tapi juga takut. Takut bilamana seandainya kau serupa apa yang menjelma di permukaan kali. Permukaan kali di depan rumahku itu gaib, ibu pernah mengingatkan aku. Jangan pernah kau bermain di sepanjangnya. Ia bisa mencium rasa takut dan nafsumu. Mengantarmu ke dalam pelukan ajal. Jiwamu akan dipermainkan di dalamnya. Jiwamu akan memasung kepadanya dan tak ada pilihan selain mencari tumbal selanjutnya. Demi kebebasan menuju akherat.
Tapi senja kemarin kita bermain di sepanjang sungai. Duduk sambil menikmati angin yang katamu adem. Menurutku, angin sore itu menusuk wajahku dengan golok. Dan aku ikuti kau memasukkan ujung jemari kakimu ke dalam air. Kau bilang airnya menyejukkan. Menurutku, air itu lengket dan amis, menarikku ke dasarnya. Aku mengangkat kakiku secepat kilat takut dihisap. Rasa takut bergemuruh sementara aku menjaga senyuman mengikuti arah bicaramu.
"Datanglah ke rumahku siang ini, Dina."
Aku berhenti sebelum kakiku sempat memijak aspal depan sekolah. Kau menggandeng tanganku, membelai lenganku. Bergidik, buluku meremang, sesegera mungkin aku menyibak sentuhannya dari tubuhku. Aku melihatmu keheranan. Apakah wajah jijikku mengejutkan bagimu? Tanpa berniat meminta maaf, aku berlari pulang. Dalam perjalanan doa terus terucap dari bibirku. Doa agar kau tidak seperti apa yang sungai perlihatkan padaku.
Sungai itu bergejolak. Telingaku mendengar arusnya seakan mengangkat dan hendak menenggelamkan penjuru dunia. Ketika menghadap belakang, kulihat dirimu bangkit dari sungai. Matamu merah dan dalam rangkulanmu adalah seorang perempuan. Anak kelas sebelah, cekikikan. Apakah ia sama sepertimu, seorang penyuka sesama jenis? Kalian berjalan tanpa tahu rasa malu. Kalian berjalan, mengira tak akan ada yang melihat. Tapi aku melihatmu. Dan teman barumu.
Tampaknya kau menanggapi keinginanku dengan baik. Aku ingin menjauhimu dan kau pula meninggalkan aku sendiri. Mulanya aku merasa amat puas. Aku bebas darimu, hei, setan penyuka sesama jenis. Tak perlu lagi aku takut kelak kau menciumku tetiba. Tak perlu lagi aku gelisah kau meraba kulitku. Tak lagi aku menjumpaimu di rumah. Tak lagi aku harus menyeberang kali gaib itu.
Dan tak seharusnya lagi aku panas hati melihatmu dengan teman barumu. Anak kelas sebelah yang kaurangkul dua bulan yang lalu. Bercandamu, yang kuanggap hanya untukku, terlontar sekarang untuk perempuan berlesung pipit itu. Aku tak tahu apa yang pandanganku sampaikan padamu. Namun, ketika melihatku, kau kabur seolah dikejar hantu. Raut wajahmu penuh ketakutan dan terror. Aku menakutimu?
Seharusnya aku yang takut padamu, dasar penyuka sesama jenis.
Berniat pun tidak aku menakutimu. Aku cemburu. Kau bersama teman baru sesudah kau menelantarkan aku. Kau membiarkan aku sendiri. Bukan. Aku yang membuatmu menjauhi aku. Segala kehendak itu adalah milikku. Padahal, mulanya aku hanya hendak melarikan diri dari jeratmu. Jerat yang kutakutkan, memang ada. Namun sekarang, semuanya menyerangku balik. Kau tidak sakit hati sesakit aku. Kau memiliki teman baru dan
kau senang. Aku bersudut di pojok seakan kau tak pernah mendeklarasikan persahabatan kita.
Ingin aku kita kembali berteman. Kembali bersahabat. Pulangku akan menuju rumahmu lagi. Candamu akan hanya kepadaku lagi. Genggaman tanganmu tak akan aku lepas lagi. Siasat gaib hantu sungai tak akan aku pedulikan lagi. Aku ingin menjadi sahabatmu lagi. Berada di setiap sudut pandangmu. Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan.
Dan aku memang, benar-benar, akan memberikanmu yang kau inginkan. Bila kau menolak pun aku akan memaksa.
Terduduk di teras rumah, aku menunggu kepulanganmu. Suara sepatumu mengetuk tanah ditangkap telingaku. Setangkas mata-mata, aku bersembunyi di balik pintu. Aku tidak ingin kau melihatku. Aku akan memberikanmu kejutan. Kejutan yang pasti akan kau sukai. Ketika pintu rumahmu menutup, membungkusmu di dalamnya, aku berlari. Menapaki jembatan kali, menginjak kotoran ayam milik ayahmu. Waspada aku memutar kenop pintumu. Tidak dikunci.
Aku masuk. Menghirup udara yang membawa aroma khasmu. Memejamkan mataku membuat bayangku berterbangan ke langit ketujuh. Aku ingin merengkuhmu. Aku ingin memilikimu. Hanya untuk diriku. Aroma rumahmu memabukkan. Kalau bisa, aku akan menangkap udara dan memeluknya. Tapi itu mustahil. Semustahil kau akan membenciku setelah apa yang kelak kulakukan padamu.
Punggungku menyentuh dinding kamarmu. Lagi-lagi aku bersembunyi. Entah mengapa aku rasa kau akan menolak kehadiranku. Dan aku takut akan kemungkinan itu. Kau masuk, menutup pintu kamar. Tak sadarkah kau aku di belakangmu? Sekuat tenaga aku mendorongmu ke atas ranjang. Matamu membeliak tidak percaya.
Kau meronta-ronta saat tanganku menjelajahi bibirmu. Teriakmu kuredam dengan ciumanku. Ciuman yang sang sungai ajarkan padaku. Melilitkan lidahku padamu dan merasakan sensasinya; panas. Ditambah gerakmu di bawahku, kian aku merasa gairah membuncah dalam diriku. Kuku tajammu mencakar punggungku. Mencabik wajahku. Bahkan mataku pun menjadi sasaranmu. Kucium darah mengalir di sisi wajahku. Jadi, kau menolak?
Aku keluarkan pisau dapur yang kusimpan. Pisau itu kutekankan ke lehermu. Mulutmu segera membentuk sebuah garis. Tanda penyerahan dan geming. Aku melanjutkan apa yang tak usai aku tandaskan. Tak kusangka menciummu terasa lebih menyenangkan daripada hanya membayangkannya. Meski bibirmu terkadang menutup. Meski gigimu terkadang menggigit bibirku. Meski terkadang kau banting kepalamu padaku. Meski bibirmu dingin dan biru. Rupanya, pisau itu menempel terlalu dalam ke lehermu.
Tapi ini apa yang kau inginkan. Kau inginkan diriku. Aku ingin persahabatanmu dan telah berjanji akan mengabulkan apa yang menjadi keinginanmu. Keinginanmu, hei, sahabatku. Kepalaku menengadah, melihat bayanganku di cermin yang kau letakkan dekat ranjang. Merah, itu warna mataku.
Diriku menciut. Basah aku oleh keringat nafsu dan ketakutan. Aku menunduk dan mendapati mata hitammu mendongak ke atas; menunjukkan ketiadaan. Merah, itu warna mataku. Bukan matamu.
22.05.2014
Pangkalpinang.