YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Senin, 16 Juni 2014

Kepergianmu

Kepada yang tercinta, seorang seniman yang menebarkan warna lelagu di sekolah kuning-biru.

Ini adalah esai yang aku tuliskan untukmu. Kau tidak perlu mengetahui aku siapa. Dan kalau kau seberuntung itu dan tahu siapa aku, harapanku kau bisa memendam rahasia itu dalam-dalam. Aku tidak mau seorang pun tahu rasaku terluka mendengar kabar kepergianmu. Senyum terus berkembang di wajahku, meski nelangsa menggusur bagian kecil kalbuku. Aku bersikap seolah aku tidak tahu menahu atas kepergianmu ke pulau Raja Ampat sana.

Kau pasti bertanya-tanya mengapa. Jawabannya sederhana. Aku selalu meyakini bahwa hidup ini adalah rahasia. Teman-temanku bertanya ke mana gerangan kedua orangtuaku. Aku tersenyum, itu rahasia. Guru-guru menanyakan keadaan kedua orangtuaku. Aku tersenyum, itu rahasia. Aku bukannya tidak pernah tahu ke mana mereka. Aku tahu. Tapi itu tidak pantas diperbincangkan dengan orang selain hatiku. Dan ketika sampailah kabar buruk itu ke kuncup telingaku, aku menahan diriku sendiri agar tidak terguncang. Aku tersenyum kepada guru yang memberitakan kabar menjengkelkan itu. Padahal jauh di dalam hati, aku berteriak; jangan pergi. Kau bahkan belum genap dua tahun di sini. Aku belum lulus. Aku masih ingin memandangmu ajarkan lagu. Ajarkan nada. Ajarkan sentuhan kalbu. Ajarkan senyum hingga ke mata. Setidaknya, jika hendaklah kau pergi, biarkan aku lari pertama kali.

Kalau aku diharuskan menyaksikan kamu pergi, aku sakit hati.

Aku ingat, kali pertama kau menampakkan diri kepada murid-murid. Di antara barisan aku menjijit berusaha menemukan guru baru yang katanya cantik itu. Ternyata tidak perlulah aku mencoba, kita memang ditakdirkan bersua. Kau wali kelasku dan sebagaimana muridmu, aku ingin berbakti demi ilmu. Kalau perlu, aku akan bersujud. Karena lagu di sekolah ini sudah uzur. Tatapanmu saat mengemukakan tempatmu di sekolah ini seolah menantangku. Belakangan baru aku mengaku tidak bisa menyanyikan lagu. Tapi aku menikmati lagu seperti aku menggemari pelajaranmu tiap minggu.

Kurasa aku menghargaimu lebih dari yang segelintir. Bukan hanya karena kau menaruh kepercayaan padaku (aku paling suka mendapat kerjaan). Namun lebih karena kau menyamun kepercayaanku pula. Aku adalah jenis orang yang tidak bisa tunjukkan karya tulisku kepada sembarang orang. Mustahil kau meraba  apa yang dibisik rasa. Aku mengunci dan melepaskan belantara itu di atas kata-kata. Maka dari itu, kala kau tahu ini aku dan kala kau tahu ini perasaanku, tolong diam. Aku tidak bisa menahan malu kalau membungkam mulutmu saja kau tidak mampu.

Aku benar benar berterima kasih kepadamu. Dan aku tidak akan menggunakan perbandingan jemu seperti pahlawan tanpa tanda jasa atau pelita di kegelapan. (Aku tidak bermaksud menghina teman baikku, tapi itu memang menjemukan, terlalu sering dipakai). Sebab aku menyayangimu, aku tidak tega menyamai jasamu dengan sejuta lainnya di bumi. Ajarmu tak ubahnya badai di tengah-tengah angin pantai. Kau tidak datang dengan santai tapi beserta sejumlah harapan yang ramai dibicarakan dalam benakku. Kau bagai air gunung yang dirindu oleh aliran kering sungai. Senyummu layaknya tetes pertama yang memukul jendela kusam rumahku. Kehadiranmu laksana sebatang pohon yang dielu-elukan kaktus gurun. Kau tidak pernah tanpa jasa; kau selalu meninggalkan tanda. Di benakku, di tubuhku, di perasaanku. Atau bahkan, di seisi sekolahku. Dan itu adalah apa yang paling aku takutkan.

Sebab esensimu melekat erat di dinding sekolah. Menyerap dan mendaging dengan ratusan kehidupan di sekolah ini. Apakah ini rasanya kehilangan? Iya, ini rasanya. Pedih. Aku tidak mau mengalami ini untuk yang kedua kalinya, tapi dituntut atau tidak, kau akan melangkah pergi.

Pagi di hari kau telah lari, mungkin aku akan mencarimu. Aku tahu itu bodoh, tapi mungkin aku akan mencarimu. Tidak ada kemungkinan yang pasti: siapa tahu aku akan menyadari kau telah pergi. Tapi ini adalah perih yang aku bayangkan:

Aku akan datang ke kantor itu, mengambil buku yang siapa tahu menjadi kewajibanku lagi. Aku akan menghampiri mejamu hanya untuk menyadari kau telah meninggalkan kami. Aku akan berlari ke laboratorium IPA dan temukan kehampaan alih-alih senyummu. Aku akan berjalan mengitari tiap kelas demi seberkas kehadiranmu. Aku akan bertanya kepada siapapun yang berlalulalang dan mendapati fantasiku dilabrak kenyataan. Kau telah pergi. Kau bahkan belum melihatku bersandangkan juara umum lagi.

Itu, adalah apa yang kusebut sebagaimana dirimu telah menyatu dengan kesatuan sekolah ini. Kami akan bertandang ke tempat di mana kau biasa tersenyum hanya untuk menyadari ulang, kau sudah tak lagi ke Bangka untuk pulang.
Bukannya aku menggugatmu atau menghalangimu dari pernikahan impian. Aku hanya menjelaskan rasa pedihku. Aku pernah kehilangan guru karena kanker; sebuah efek samping kematian. Dan sekarang aku harus menyaksikan guru yang dihadapkan pilihan. Bukan aku menyalahkan pilihanmu untuk mencintai pria yang hadir untukmu. Aku menghargai keputusanmu. Memang, dunia selalu memberimu pilihan. Dan untuk yang satu ini aku tidak boleh egois. Kau berhak bahagia dengan suamimu di Papua sana, menggeluti bisnis. Meski kau menemukan cinta abadi di sana, jangan pernah melupakan ribuan cinta kasih yang meluap untukmu di Pulau Jawa maupun Pulau Bangka ini. Aku mencintaimu sebagaimana teman-temanku menangisi kepergianmu.

Ini terkesan sederhana, tapi ini segala yang kupunya. Anak-anak bimbinganmu bisa memberikanmu suara yang padu. Salah satu temanku bisa mempersembahkanmu petikan lagu. Anak-anak kaya di sini bisa membelikanmu keindahan yang terperangkap dalam batu. Guru-guru bisa mempersiapkan bagimu sebuah jasa bagai serdadu. Tapi, aku telah memberimu ini semua. Semua yang aku punya. Perasaanku, tulisanku. Aku telah mengantarkan padamu tulisan yang tak lekang waktu. Kau abadi di kalbuku.

Kalau kau temukan irama serupa lagu di antara kalimatku, mohon mafhum, aku belajar menekuni ilmu penyairan.

Dan sebagai salah satu hadiahku, aku persembahkan kepadamu dunia pribadiku yang selalu menjadi rahasia kecilku:

Tempatku menulis dengan berpuluh ribu pembaca: http://wattpad.com/user/akuorangindo

Tempatku menulis dengan aku sebagai satu-satunya pembaca: http://ruangdansisi.blogspot.com (kumpulan puisi dan curhatanku)

#ps: jangan terkejut dengan imaji liar itu. Semuanya murni dari kepalaku.

Jumat, 13 Juni 2014

Mata

Sempat aku bersua
bingkai jendelamu
tempat penuh suka
akan diri aku.

Kini ia menjelma
parang yang
meradang ketika
aku di sudut pandang.

Minggu, 01 Juni 2014

Menyaksikanmu Pergi

Minta, janganlah meminta.
Tidak pantaslah kamu, tercinta.
Tanpa dipaksa,
kamu telah menjejak rasa,
dalam serta menyiksa.
Iya, kau tidak lebih dari tukang tenun embun;
tidak lebih dari tukang siksa.
Sebab ketika embun itu sementara,
melihatmu pergi hanya
jadikan sengsara hati saya.