YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 04 Desember 2015

Mati Rasa

seakan-akan aku tak mengenal apapun selain hadirmu.

jumat, 4 desember 2015.

Sentuhan Kecil

sebuah sentuhan kecil, sayang. singgungan ringkas atas perasaan cinta yang diutarakan malu-malu.
sekecup bibirku pada pipimu,
lalu ciummu di wajahku.
di hadapan saksi horizon biru laut jernih,
di naungan langit cerah matahari tak gerah,
seiring embus angin yang bermain dengan ikalku,
sembari ia membawa pergi rahasia kecil mengenai sentuhan kita.

ciuman pertamamu, sayang. pada pipiku, setidaknya.

jumat, 4 desember 2015.

Genggaman

tanganmu yang memeluk telapak tanganku.

hangat.

Sayang,

aku mencintaimu dengan kata yang tiada.

Minggu, 05 Juli 2015

Kepada Kamu

Ibarat aku adalah sebuah tulisan, maka kau ialah apa-apa.

Kau adalah huruf kapital, yang mengawali, yang ada pada detak detik penting, simbolik.

Kau juga huruf kecil, selalu ada melekat dekat awal, tak jarang juga dekat penghabis hari, penghabis kalimat, mengiringi tulisan dengan sabar karena kamu tahu tanpa dirimu, huruf-huruf besar akan jadi tak bermakna. Aku kelak tanpa makna.

Jangan lupa koma, kau adalah dia. Dia, koma yang memberi jeda tenang pada tulisan panjang, jeda tenang penjelas makna--arti-arti yang semayam di dalam kata--segala makna, jeda tenang pelanjut apa yang tak menghabis; momen-momen kita.

Momen yang biasanya berakhir dalam tanda tanya. Oh, itu juga kau: tanda tanya. Pengakhir momen yang paling skeptis, benarkah habis atau tak habis. Tanda tanya tanda yang bengis sekaligus manis. Meski tanya demi tanya selalu ada usai sehari dan sehari dan sehari, namun kita mendalaminya bersama. Mendalami sebuah jawaban, entah ada atau tiada. Dan lagi ini membuatku bertanya; apakah jawaban atas segala pernah ada--setidaknya bagi kita? Tapi kemudian, keindahan kilat tak pernah pada di mana dia jatuh, sayang. Namun, lekat di kelok cahaya kilat zigzag yang menebar kagum pada segelintir kita.

Setelah segala datar, koma, dan turun itu, kamu juga adalah tanda seru. Bukan perintah, aku lebih suka menyebutnya seru. Sebuah tanda yang akan selalu dibaca dengan intonasi naik. Kau tak membiarkan aku (dan kita, mungkin) mendatar terus condong turun. Kau memberikan sensasi, angin yang datang cepat menakjubkan tak terlupakan. Tapi sesungguhnya, kau adalah segala angin, angin lembut angin kencang angin brutal angin penghancur angin pengawal. Dan kalaupun sebagai angin kau hanya berdiam, kau tetap segalanya.

Titik. Aku yakin kau juga titik. Menutup manis, menutup tangis, menutup gembira, menutup amarah. Menyelesaikan tulisan apapun yang digelut perasaan.Titik bukan berarti akhir, selalu ada titik-titik lain. Titik lain yang jadi akhir dari tulisan lain. Tulisan yang tak akan habis, kurasa, selama aku mengharapkannya. Selama kita mengharapkannya. Sepanjang kita mengusahakannya. Lihat? Bukanlah titik yang mengakhiri tulisan. Tapi adalah kita.

Kau adalah segala, keteraturan dan ketidakteraturan dalam tulisan. Kenyataan yang membuatku memikirkan kemungkinan. Juga ilusi yang membuatku meragukan kepastian. Dan sekalipun kau adalah bukan apa-apa; aku tetap mencintaimu, nyata atau maya. Siapa yang peduli dengan nyata maya?

Namun, aku bisa menjamin satu hal, hanya sebuah kepastian dari sekian perkiraan ribuan pertanyaan dan ketakpastian; perasaan ini ada.

Teruntuk dirimu yang kupanggil Harta Berharga, Schatz.

05.07.2015

Di sebuah kamar dengan adik laki-laki berbaring risih dengan permainannya.

Kamis, 18 Juni 2015

Hanya Sepotong Kecil Cerita

Hujan selalu datang beserta isyarat. Merupa kelabu yang memenuhi langit kota dan setelahnya adalah jatuhan rintis. Tetes tumpah gumpalan awan menempel pada kaca-kaca kafe, dinding-dinding benak. Berdiam sesaat hanya untuk kemudian meleset temui tanah. Tinggal lama dalam ruang pikiran, menarik, menjebak, aroma jua rasa, memunculkan pertanyaan; mengapa datang dengan berbagai hal di tangan, namun bisa sekadar merasakan mau memilikinya pun sebatas angan-angan?

"Aku perlu meluruskan ini semua," ia yang ada di hadapanku berkata. Kendati petir menyambar jauh dari kubus bernama kafe, aku bisa menerka macam gemuruh yang diemban suaranya.

Suara yang mana kupahami seluk bentuk beluknya. Sebab, kala tidak bertemu, aku akan memutar suara itu mengenang lalu tersenyum. Dan ketika diperangkap lelap, suara itu mengisi mimpi, terang-gelap. Aku mengenal suara itu terlampau jauh, aku tahu adalah gemuruh yang bersembunyi di balik lakunya.

Aku berangkat dari kursi kafe yang biasa kudapati nyaman. Untuk alasan entah, kini kursi tersebut seolah-olah menelanjanginya dengan ribu ketidaknyamanan.

"Jangan pergi." Tangannya menggapai tanganku. "Kita harus bicara."

Tidak, hatiku berseru. Tapi, aku kembali berada di hadapannya, menatap gelisah di matanya. Alisku meragu, mengangkat yang dijawab dengan tarikan pelan napasnya.

"Kita telah kenal lama, Rama. Aku tahu apa yang kamu lalukan pada umur sembilan, aku tahu pada umur tiga belas siapa yang kau idam-idamkan. Kita telah mengenal lama. Terlampau lama. Sampai-sampai kita menyadari perasaan tabu yang seharusnya tak kita rasakan untuk sesama," ujarnya. Jemarinya menekuk dan membuka. Sebuah indikasi bahwasanya, kegugupan melandanya.

"Aku--"

"Tidak, dengar. Aku tidak bisa meneruskan ini semua. Masyarakat tidak menginginkan kita. Omelan kecil istriku kini adalah amukan yang sering kali membangunkan bayiku. Dan kian kupikirkan--"

Aku menutup mataku, meresapi tarikan napas yang kala itu diambilnya. Tarikan napas yang hanya berputar pada relung paru-parunya. Tarikan napas yang mampu menenangkan dirinya. Dahulu, kau tak perlu melakukannya, sebab pelukanku akan menyelaraskan pikiranmu, pikirku. Dahulu. Betapa pahit tiga suku kata itu memutar lidahku.

Ia mengeluarkan tekanan yang memenuhi paru-parunya. "--kita memerlukan jarak. Aku berkeluarga, begitu juga kamu. Keluargaku membutuhkan aku, begitu pula milikmu. Apa yang akan mereka katakan begitu mengetahui aku--"

"Mencintai sesama jenis?"

"Ya."

"Apakah itu menjijikan bagimu?" Aku merasakan bibirku bergetar. Entah karena hujan yang menggigilkan diri atau sakit di hati.

"Ya."

Sakit tersebut berubah pahit. Bergejolak dan meledak. Mencapai lidah, mencapai bibir. Menghias senyumku. "Aku mengerti."

Dan yang kesekian kalinya selama aku mencintaimu: segalanya jauh lebih mudah jika kau tidak membuatku jatuh pada ilusi bernama cinta itu. Segalanya akan jauh lebih mudah jika aku tidak mencintaimu. Namun, sebetapa beratnya aku mencoba tak mencintaimu, aku tidak bisa.

Aku jadi bertanya-tanya, mengapa bagimu semudah itu?

15. 6. 2015

Hujan

Terindah sebelum jatuh.

Jumat, 12 Juni 2015

Helga

HELGA
Menjilat bersih darah dari sela-sela jari, langkah Helga mantap mencekik makhluk primitif di bawahnya. Seonggok daging dengan usus terburai itu bergeming menanggapi injak kaki Helga. Helga mencabut pedangnya dari tulang tengkorak korbannya sembari menghela napas, menyelaraskan dentaman gila jantungnya dengan pikirannya yang setenang detik waktu. Konstan, teratur, dan tidak berperasaan; pembunuh dan penyiksa. Terus berputar menghabisi hari serta—kehidupan.
          Denting lemah logam meluncur masuk ke sarung pedangnya, terikat pada pinggangnya. Sarung pedang yang dijahit Hilda, adik kembarnya, dari hasil buruannya beberapa waktu lalu. Helga masih ingat senyum hangat Hilga ketika menghadiahkan sarung tersebut. Tidak tega mengecewakan adiknya, Helga menyingkirkan jauh-jauh sarung lamanya, dan mengikat kulit kecokelatan itu di pinggangnya tiap kali berperang maupun bertarung.
          Dan menyelamatkan, pikir Helga.
          Beberapa waktu yang lalu, tanpa sebab yang kentara, Hilda jatuh sakit. Adik kembarnya itu terus meronta kesakitan, menggaruk dan berusaha mencabik kulitnya sendiri. Jerit tangis Hilda terdengar begitu pilu ketika ukiran tato di sekujur tubuhnya berpendar merah. Helga tahu, alih-alih sebagai pelindung dari malapetaka juga mara bahaya, toreh gugusan aksara kuno itu menciptakan lubang menganga yang seiring waktu menelan esensi tubuh Hilda. Perlahan. Merenggut bagian-bagian tubuh Helga, pula.
          Menyaksikan anomali tersebut, para sesepuh Herbjorn memutuskan untuk menguliti Hilda. Akibat penyakit Hilda adalah apa yang kami takutkan, Helga, katanya suatu senja usai merapatkan masalah di meja keramat. Helga bersikeras menentang keputusan mereka. Helga ingat kala punggungnya terasa amat nyeri dan jiwanya nyaris pergi dari genggaman jemari. Begitu malam membayang, Hilda pulang tak sadarkan diri hampir mati diterkam makhluk ngeri. Helga juga ingat titah ibunya tiap sebelum berangkat perang; Jiwa kalian adalah satu. Ketika ia kesakitan, maka jadilah sakit itu tanggunganmu jua. Ketika ajal mengunjunginya, maka jadilah kau mengiringinya. Oh, anak-anakku yang malang, kutukan berpijak pada nasib yang kalian angkut. Tapi, janganlah takut. Jagalah diri semasing utuh-utuh. Jangan sampai perlindungan itu runtuh.
          Helga bukan tak yakin Hilda mampu mengatasi pengulitan. Kaum mereka, Herbjorn, adalah sekumpulan wanita pembantai yang diciptakan Dewi Kekacauan demi memberikan satu sentuhan kekerasan pada kedamaian dunia. Dan Herbjorn terkenal akan kemampuan regenerasi yang baik, pancar kebrutalan yang membuat ksatria manapun lari terbirit-birit, dan kekuatan yang menguar tak wajar. Ia tahu Hilda tidak akan kehilangan kesadaran dikuliti. Mereka adalah pejuang. Namun, sebuah pemikiran merambati benaknya.
          Bagaimana jika Hilda berakhir mati dan aku akan merasakan yang sama pula?
          Dengan satu pertanyaan yang menimbulkan ribuan irasionalitas di kepalanya, Helga bersikeras mencari alternatif penyembuhan bagi Hilda. Selain segan berjumpa kematian di umurnya yang kesembilanbelas, Helga teramat menyayangi adik kembarnya itu hingga tak rela menangkap seberkas pun duka pada wajahnya. Tanpa Helga sadari, ia telah melindungi adiknya tanpa mengharapkan imbalan berwujud panjang umur.
          Para sesepuh memberinya amanah untuk bertemu dengan juru kunci Sang Naga di Barat. Sebab, katanya, Sang Naga menjaga sebongkah kristal bertuah. Maka, kini, di Tanah Tinggi Barat Helga berdiri menginjakkan kaki. Wilayah Barat terkenal akan kerumunan makhluk-makhluk primitif yang beringas dan kanibal. Ketiga pendampingnya—tiga wanita kaum Herbjorn, kuat, lincah, berani—mati dilahap kebuasan yang tak terjamah tersebut. Helga menyisipkan untaian rambut bebasnya ke balik telinga. Setidaknya, anting tulang yang menghias telinga kirinya—rajah, bukti bahwa ia adalah ketua suku Herbjorn, sah, direstui sesepuh, diberkati Achla—tidak perlu merasa malu karena Helga tegap, dengan tungkai lurus, membantai ratusan makhluk primitif itu seorang diri.
          Sembah syukur pada Achla, Dewi Kekacauan, Dewi Pembantaian.
          Helga membawa pandangannya ke titik kecil di ujung tebing. Achla mungkin mengutuk ia dan Hilda—tapi dewi satu itu tidak pernah setengah-setengah memberkahi para pejuangnya kesempurnaan visi. Tanpa perlu bersusah payah menyipitkan mata, Helga tahu titik kecil yang kelak membesar itu ialah pondok sang juru kunci. Kaki telanjangnya melangkah, kembali mempertemukannya pada kawanan setan murahan.
          Berkahi aku kekacauan, Dewi Achla, Dewi Kekacauan, Dewi Pembantaian.
***
          Apa yang dihasilkan kepal tangan Helga adalah ketukan merupa riak air. Kian besar seiring banyaknya ketukan yang ia kumandangkan. Beberapa kali ia berseru, menanyakan keberadaan sang juru kunci di dalam. Tidak jarang juga ia mengintip dari tiap jendela yang tersebar di dinding rumahnya, hanya untuk mendapati bahwa penglihatannya dihalangi oleh selembar tirai usang.
          Sial. Ia tidak mau pulang tanpa apapun. Ia akan pulang dengan darah jika tanpa Kristal Naga. Keparat. Ia mengumpat, mengingat semakin lama waktu yang ia habiskan di ujung tebing ini kian akut kondisi Hilda. Menggigit bibirnya hingga segaris darah mengalir, Helga mundur beberapa langkah dari pintu. Sebelah kakinya mengambang di udara, ancang-ancang sempurna sebelum akhirnya menendang—
          Pintu bobrok itu terbuka pada detik di mana pegas melonggar, tungkainya menerjang. Alih-alih permukaan keras kayu yang ditemui telapak kakinya, sesosok berjubah terlempar akan tendangannya. Jatuh jauh ke sisi lain rumah, melabrak seperangkat alat masak dan bahkan lemari besar. Pada embusan napas di mana ia memeroleh keseimbangannya, dengan langkah lambat nan buas—seakan, tiada rasa bersalah sama sekali—Helga mendekati sosok berjubah itu.
          Sang juru kunci. Orang yang akan membawa perjalanannya ke hadapan Naga Barat. Tatapan Helga terpancang pada juru kunci yang tengah berusaha bangkit bagai mengamati calon korbannya. Tidak, Helga menggeleng. Helga membutuhkan bantuan sang juru kunci. Dan demi kesembuhan Hilda, Helga harus bersikap lebih manis. Oh, tapi lihatlah jantung yang berdetak itu. Hangat. Darah yang mengalir dalam pembuluhnya pasti sepanas lahar.
          Helga tidak sabar mengurai organ pencernaannya.
          Tidak.
          Helga kembali berjalan hendak menolong sang juru kunci. Namun, seolah menepis sopan santunnya, sang juru kunci melesat dari tempatnya tersungkur. Balik menerjang Helga, mencengkeram batang lehernya erat, membawa punggungnya menabrak lantai kayu, keras. Tidak mengantisipasi tindakan tersebut, Helga tersedak dan selama beberapa saat kehilangan laras pikirannya.
          Seakan-akan Dewi Achla sedang bermain dengan isi kepalanya.
          “Apakah itu cara Iblis Achla masuk ke dalam rumah orang?” desis juru kunci yang berada di atasnya, membayangi tubuhnya. Sosok di atasnya berwajah rupawan nan anggun, kontras dengan penampilan Iblis Achla yang terkesan buas.
          “Tidak,” jawab Helga, “biasanya, kami membakar tulang mereka hingga jadi arang.” Helga menatap langsung ke dua manik indah juru kunci. Tidak ada yang mampu membingkai sepasang mata cantik itu selain bulu mata lentik milik wanita di atasnya. Kerutan di dahinya kian dalam mendengar jawaban Helga.
          “Oh, jangan salahkan aku jika malam ini Sang Kematian mencarimu.” Pada detik sang juru kunci mengucapkan pernyataannya penuh amarah, disorientasi seakan terjadi pada wajah rupawannya.
          Sisik-sisik berwarna tembaga yang  memenuhi wajahnya hilang-timbul. Lidahnya berubah jadi dua cabang berbisa. Dan perubahan yang paling signifikan adalah pada sebelah maniknya. Matanya mewujud mata naga manapun yang sering dituturkan ibu kepada anaknya. Pupil sempit serupa pedang dan warna keemasan mengelilinginya.
          “Kau adalah Sang Naga,” bisik Helga. Ia tidak tahu mengapa suaranya berubah pelan. Gelombang keterkejutan menampar kesadarannya tak ubah batu karang yang diempas ombak. Setengah sadarnya seolah pergi larut bersama empasan gelombang tersebut.
          Dari jari lembutnya mencuat cakar tajam yang berhasil menembus kulit leher Helga. “Ya, dan biarkan aku membunuh—“
          “Tunggu!” seruan Helga menghentikan niat membunuh Sang Naga. “Dengarkan aku.”
          “Kebiasaan kalian bertutur kata membuatku naik pitam, entah kenapa.”
          “Kumohon.” Helga memasang mimik memelas.
          Mengumpat kesal, Sang Naga beranjak dari atas tubuhnya. Kemudian, mengempaskan bokongnya ke lantai, duduk bersila. Ia bersedekap dan mengangkat dagunya. Otoritas yang tampak di matanya menyatakan bahwa Sang Naga tak pernah tunduk akan perintah siapapun. Dan hanya akan mendengar jika seseorang memohon kepadanya.
          Tidak mau kalah (atau mungkin, mencari mati) Helga duduk sama tegaknya. Menaikkan dagu lebih tinggi dari milik Sang Naga. Harga dirinya sebagai ketua suku seakan ditindas mendapati dirinya diperlakukan layaknya sekarang. Ia terbiasa memerintah, kemudian menghukum. Bukan dipaksa bersimpuh di hadapan orang.
          “Kalian, para kanibal haus darah, terbukti tidak mempunyai sopan santun,” ujar Sang Naga sengit.
          “Apa yang membedakanmu dari kami?”
          “Kau—“ Cuping hidung Sang Naga mengembang, lalu mengempis. Helga seakan mampu melihat api yang berkobar di dalam dirinya. Terang, penuh amarah, namun berubah lebih tenang. Tampak Sang Naga sedang mengendalikan diri. “Jelaskan apa maksud kedatanganmu, Iblis Achla.”
          “Sesepuh Herbjorn berkata aku harus menemuimu demi menyembuhkan adik kembarku. Aku memerlukan Kristal Naga sebab konon kekuatan magisnya mampu memberikan vitalitas bagi pemiliknya,” ucap Helga. Lidahnya terasa amat asam ketika menyebut adiknya. Mengingat ronta, jerit, dan pedihnya. Terasa begitu nyata karena semua yang melanda Hilda, mesti ia tanggung. Bagai satu kesatuan yang ikatannya mustahil putus. Dalam beberapa saat tertentu, Helga tidak yakin harus bersyukur atau mencaci kutukan yang mengikat mereka berdua.
          Sebelah alis Sang Naga naik, tertarik. “Oh.” Namun, apa yang dikeluarkan oleh mulutnya hanyalah kesinisan tanpa ujung. “Kuharap adikmu sembuh.”
          Helga mendecak. “Ya, tapi penyakitnya tidak biasa. Tiada seorang pun yang pernah menyaksikan hal semengerikan itu. Aku membutuhkan Kristal Naga untuk—“
          “Iblis Achla, kau tak tahu apa yang kau minta.” Sang Naga berdiri. Dari tempatnya bersila kini, Sang Naga terlihat sungguh tinggi, berkuasa, dan absolut. Kekuatannya menguar bahkan menggelitik sisi pengecut Helga—yang tak pernah terusik.
Menelan ludah, Helga masih berjuang—ini semua demi Hilda. “Aku tahu. Aku membutuhkan Kristal Naga dan aku akan melakukan apapun asal aku memerolehnya.”
Matanya memandang jauh ke balik punggung Helga. Untuk sepersekian detik, Helga disuguhi pemandangan langka akan keprihatinan pada mimik Sang Naga. “Bermalamlah. Bulan sudah menggantung di langit sana.”
***
          Mimpi membawanya kepada saat-saat menenangkan terbenamnya matahari. Matanya menangkap gugusan tenda sederhana yang melingkar. Helga berdiri di tengah, tubuhnya yang tegap nan tinggi membayangi para sesepuh Herbjorn. Tak jarang pikiran Helga tergelitik akan kenyataan bahwa ketika tiba saatnya nanti tubuhnya akan menciut dan disingkirkan dari perang seperti para sesepuh di hadapannya.
          Yang teragung dari para sesepuh, melangkah maju, memotong protes Helga. “Pergilah ke Barat dan temui juru kunci Sang Naga. Hanya kepadanyalah kau menemukan kesempatan untuk menyembuhkan adikmu.”
          “Ah,” desah yang lain bagai mengenang surga berdarah tempat mereka berjaya dahulu. “Kristal Naga.”
          Ya. Kristal Naga.” Yang Teragung mengangguk setuju. Fokus matanya kembali mencatuk Helga. “Bawa batu itu kemari dan adikmu akan sembuh.”
          Helga memicingkan mata, skeptis. “Bagaimana aku mengenali Kristal Naga?” suara Helga keluar tak ubahnya pecahan gelas. Terburai oleh perasaan sayang mendalam terhadap adiknya.
          Tapi, suara yang dituangkan oleh Yang Teragung sejernih air. Mengalir konstan seolah-olah tahu ke mana arus akan membawanya. “Kau akan mengetahuinya,” ucapnya. “Kita semua ibarat sekumpulan lebah dan Kristal Naga adalah satu-satunya bunga di ladang gersang tempat kita tinggal.”
          Momen itu berlalu, disapu oleh kenangan yang lebih baru. Helga kembali pada posisi tidak menguntungkan, berada di bawah dominasi Sang Naga. Sementara cakar tajam itu mencekik lehernya, Helga menyadari keindahan pada sebelah matanya. Sebagaimana mata itu sewarna madu, emas, cahaya, dan apapun yang cemerlang. Mata yang menarik pemerhatinya ke dalam pusaran euforia serta jebakan pesona.
          Mata itu terus membayangi tidurnya bahkan ketika segalanya telah berubah gelap. Mengiringi tiap detak jantungnya. Menanti embusan napasnya. Sebab dari haus batang tenggorokannya. Tangan-tangan gelap bagai menggaruk-garuk ambisinya. Hanya pada detik itulah, Helga mengilhami apa yang dimaksudkan Yang Teragung.
          Kita semua ibarat sekumpulan lebah dan Kristal Naga adalah satu-satunya bunga di ladang gersang tempat kita tinggal.
          Kesadaran menyentaknya. Ia terbangun dengan sorot bulan yang melintasi jendela, menyinari cucuran peluhnya. Pakaian kulitnya lembab akibat keringat dingin yang dihasilkan punggungnya. Detak jantungnya bagai ritme gendang yang cepat, kencang, dan tidak teratur. Napasnya berembus keluar dari antara bibirnya, memburu sesuatu seperti waktu.
          Matanya adalah Kristal Naga. Berteguh pada keyakinan itu, Helga meraih sarung pedangnya dan dengan langkah goyah selayaknya anak rusa, ia berjalan menyisiri lantai kayu. Derit yang dihasilkan adalah bebunyian sehalus kepakan sayap serangga, namun, masih menggenggam gagang pedangnya, Helga meningkatkan kewaspadaan.
          Ketika sampai di hadapan pintu kamar Sang Naga, Helga tidak membiarkan sebutir peluh atau satu napasnya pun keluar. Ia harus melakukan ini secermat ular. Cepat, tepat, sunyi. Membuka pintu, Helga masuk tanpa membuang-buang waktu. Kamar tersebut diterangi oleh sinar bulan remang-remang. Dengkur Sang Naga lolos dari bibirnya, sampai pada genderang telinga Helga.
          Masih mengendap-endap, Helga mendekati Sang Naga. Sehening geming. Menyatu dengan kegelapan, dengan malam. Dengan sorot bulan. Laras napasnya sama dengan Sang Naga. Langkahnya mengekori turun naik punggungnya. Kedipan matanya tertunda oleh visi akan aliran darah yang terbungkus pembuluhnya. Dekati, tikam matanya—makan. Lezat. Pasti.
          Helga membalikkan tubuh Sang Naga sehingga wajahnya menghadap Helga. Tindakan kecil itu ternyata mengusik ketenangan Sang Naga. Matanya membelalak terkesiap oleh sosok yang ada di hadapannya—mengacungkan pedang, siap menusuk. Sebelum Sang Naga  mampu berkutik maupun mengucapkan selamat tinggal, Helga telah membiarkan mata pedang memenggal kepalanya.
          Dengan satu renggutan brutal, Helga mencuri matanya. Dengan satu pompaan hasrat dalam dirinya, Helga mulai menggerogoti daging lembut Sang Naga. Lezat.

***

          Helga mengangkat tinggi-tinggi Kristal Naga dan membiarkannya dilalui sejalur pancaran fajar. Kristal itu bercahaya, berpendar lembut. Keindahannya tidak sebanding dengan permata kaum manusia manapun. Seakan-akan sang surya mencintainya. Menonjolkan keindahannya yang tiada tara.
          Tapi, ini semua untuk adik kembarnya. Hilda adalah satu-satunya orang yang akan menerima berkah dari Kristal Naga. Hanya dengan kekuatan magis kristal adiknya akan tersembuhkan. Hilda tidak perlu merasakan kesakitan luar biasa lagi. Penyiksaan yang bagai menggerogoti dikit demi dikit kelangsungan jiwa mereka. Sebab, bagaimanapun juga, mereka berdua diciptakan untuk saling melindungi.
          Mengembalikan Kristal Naga ke genggaman kuatnya, Helga melanjutkan langkah-langkah lebarnya menuju perkemahan suku Herbjorn. Indranya disambut oleh berbagai hal yang ia rindukan selama perjalanannya mencari Kristal Naga. Denting logam latihan, alunan tawa anak-anak, jeritan kesakitan para tawanan, sembah puja pada Achla, aroma daging bakar, dan tatapan penuh sanjungan yang ditujukan hanya kepadanya. Sang kepala suku, Helga Herbjorn, yang dicintai Achla.
          “Helga.” Salah seorang sesepuh mendekatinya. Ia memandangi genggaman tangan Helga yang kuat. “Aku tahu kau pasti kembali membawanya.”
          Senyum miring sarat bangga mekar di wajahnya. “Di mana Hilda? Yang Teragung? Ia perlu menyembuhkan adikku.”
          “Ikuti aku.”
          Langkah Helga mantap dan pasti dan penuh harapan. Harapan bahwa setelah ini Hildanya tersayang akan sembuh. Tiada lagi teriak pedihnya. Tiada lagi beban dalam hatinya yang harus Helga rasakan pula. Adik kembarnya akan sembuh. Dan setelah itu, mereka akan memburu dan membantai bersama, seperti yang dulu.
          Berlarian serta beradu di antara hijau hutan. Menumpas kedamaian dan menghidupkan kekacauan di tiap injakan mereka. Menari di antara mayat juga tumpahan darah. Bersama-sama merasakan nikmatnya membunuh. Menyaksikan senyum di wajah semasing.
          Anomali penyakit yang diidap Hilda adalah apa yang menjadikan segala hal itu lenyap. Helga akan menghidupkannya—lagi. Pasti.
          Sang sesepuh membawanya masuk ke dalam tenda—napas Helga tercekat. Adiknya jatuh berlutut. Yang Teragung mengacungkan sebilah pedang setinggi bahunya. Ketika mata yang merah akan tangis itu menemui sosok Helga, Hilda meraung, “HELGA!” Lalu, diikuti tebasan cepat pada lehernya.
          Dalam sekejap, tanpa sempat menghirup satu napas untuk yang terakhiri kali, Helga mendesis merasakan jiwanya pergi melayang. Kepalanya seakan lepas sebagaimana Kristal Naga itu pergi dari genggamannya. Hanya untuk menemui pemiliknya yang baru.

          Suara Yang Teragung menggema sebelum bisu kegelapan menelannya, “Kau memudahkanku menaklukan dunia dengan membawakan Kristal Naga kepadaku, Helga Herbjorn.” []

Biodata Karakter

Nama                                      : Helga
Karakteristik     
1.    Tinggi                           : 177cm
2.    Berat                                       : 63kg
3.    Mata                             : Berwarna hitam dengan tatapan tajam
4.    Rambut                         :Pirang platina, nyaris putih keperakan, turun sepanjang pinggangnya. Rambutnya ditata menurut gaya khas suku Herbjorn; dua kepangan besar dari masing-masing sisi kepala, disatukan dengan karet kulit berumbai merah-hitam (warna khas suku Herbjorn)
5.    Distinguished Features: Ukiran tato bahasa kuno yang memenuhi tubuh—kaki, tangan, punggung, leher, hingga sebagian wajahnya. Anting tulang di telinga kiri; aksesoris bagi ketua suku.

Sifat                                        : Keras kepala, pantang menyerah, arogan, dan penyayang (hanya kepada adik kembarnya, Hilda.)


Keahlian                                 : Bertarung