HELGA
Menjilat bersih darah
dari sela-sela jari, langkah Helga mantap mencekik makhluk primitif di
bawahnya. Seonggok daging dengan usus terburai itu bergeming menanggapi injak
kaki Helga. Helga mencabut pedangnya dari tulang tengkorak korbannya sembari
menghela napas, menyelaraskan dentaman gila jantungnya dengan pikirannya yang
setenang detik waktu. Konstan, teratur, dan tidak berperasaan; pembunuh dan
penyiksa. Terus berputar menghabisi hari serta—kehidupan.
Denting
lemah logam meluncur masuk ke sarung pedangnya, terikat pada pinggangnya.
Sarung pedang yang dijahit Hilda, adik kembarnya, dari hasil buruannya beberapa
waktu lalu. Helga masih ingat senyum hangat Hilga ketika menghadiahkan sarung
tersebut. Tidak tega mengecewakan adiknya, Helga menyingkirkan jauh-jauh sarung
lamanya, dan mengikat kulit kecokelatan itu di pinggangnya tiap kali berperang
maupun bertarung.
Dan menyelamatkan, pikir Helga.
Beberapa
waktu yang lalu, tanpa sebab yang kentara, Hilda jatuh sakit. Adik kembarnya
itu terus meronta kesakitan, menggaruk dan berusaha mencabik kulitnya sendiri.
Jerit tangis Hilda terdengar begitu pilu ketika ukiran tato di sekujur tubuhnya
berpendar merah. Helga tahu, alih-alih sebagai pelindung dari malapetaka juga
mara bahaya, toreh gugusan aksara kuno itu menciptakan lubang menganga yang seiring
waktu menelan esensi tubuh Hilda. Perlahan. Merenggut bagian-bagian tubuh
Helga, pula.
Menyaksikan
anomali tersebut, para sesepuh Herbjorn memutuskan untuk menguliti Hilda. Akibat penyakit Hilda adalah apa yang kami takutkan,
Helga, katanya suatu senja usai merapatkan masalah di meja keramat. Helga
bersikeras menentang keputusan mereka. Helga ingat kala punggungnya terasa amat
nyeri dan jiwanya nyaris pergi dari genggaman jemari. Begitu malam membayang,
Hilda pulang tak sadarkan diri hampir mati diterkam makhluk ngeri. Helga juga
ingat titah ibunya tiap sebelum berangkat perang; Jiwa kalian adalah satu. Ketika ia kesakitan, maka jadilah sakit itu
tanggunganmu jua. Ketika ajal mengunjunginya, maka jadilah kau mengiringinya.
Oh, anak-anakku yang malang, kutukan berpijak pada nasib yang kalian angkut.
Tapi, janganlah takut. Jagalah diri semasing utuh-utuh. Jangan sampai perlindungan
itu runtuh.
Helga bukan tak
yakin Hilda mampu mengatasi pengulitan. Kaum mereka, Herbjorn, adalah
sekumpulan wanita pembantai yang diciptakan Dewi Kekacauan demi memberikan satu
sentuhan kekerasan pada kedamaian dunia. Dan Herbjorn terkenal akan kemampuan
regenerasi yang baik, pancar kebrutalan yang membuat ksatria manapun lari
terbirit-birit, dan kekuatan yang menguar tak wajar. Ia tahu Hilda tidak akan
kehilangan kesadaran dikuliti. Mereka adalah pejuang. Namun, sebuah pemikiran
merambati benaknya.
Bagaimana jika Hilda berakhir mati dan aku
akan merasakan yang sama pula?
Dengan satu
pertanyaan yang menimbulkan ribuan irasionalitas di kepalanya, Helga bersikeras
mencari alternatif penyembuhan bagi Hilda. Selain segan berjumpa kematian di
umurnya yang kesembilanbelas, Helga teramat menyayangi adik kembarnya itu
hingga tak rela menangkap seberkas pun duka pada wajahnya. Tanpa Helga sadari,
ia telah melindungi adiknya tanpa mengharapkan imbalan berwujud panjang umur.
Para
sesepuh memberinya amanah untuk bertemu dengan juru kunci Sang Naga di Barat. Sebab, katanya, Sang Naga menjaga sebongkah kristal bertuah. Maka, kini, di Tanah
Tinggi Barat Helga berdiri menginjakkan kaki. Wilayah Barat terkenal akan
kerumunan makhluk-makhluk primitif yang beringas dan kanibal. Ketiga
pendampingnya—tiga wanita kaum Herbjorn, kuat, lincah, berani—mati dilahap
kebuasan yang tak terjamah tersebut. Helga menyisipkan untaian rambut bebasnya
ke balik telinga. Setidaknya, anting tulang yang menghias telinga kirinya—rajah,
bukti bahwa ia adalah ketua suku Herbjorn, sah, direstui sesepuh, diberkati
Achla—tidak perlu merasa malu karena Helga tegap, dengan tungkai lurus,
membantai ratusan makhluk primitif itu seorang diri.
Sembah syukur pada Achla, Dewi Kekacauan,
Dewi Pembantaian.
Helga membawa
pandangannya ke titik kecil di ujung tebing. Achla mungkin mengutuk ia dan
Hilda—tapi dewi satu itu tidak pernah setengah-setengah memberkahi para
pejuangnya kesempurnaan visi. Tanpa perlu bersusah payah menyipitkan mata,
Helga tahu titik kecil yang kelak membesar itu ialah pondok sang juru kunci.
Kaki telanjangnya melangkah, kembali mempertemukannya pada kawanan setan murahan.
Berkahi aku kekacauan, Dewi Achla, Dewi
Kekacauan, Dewi Pembantaian.
***
Apa
yang dihasilkan kepal tangan Helga adalah ketukan merupa riak air. Kian besar
seiring banyaknya ketukan yang ia kumandangkan. Beberapa kali ia berseru,
menanyakan keberadaan sang juru kunci di dalam. Tidak jarang juga ia mengintip
dari tiap jendela yang tersebar di dinding rumahnya, hanya untuk mendapati
bahwa penglihatannya dihalangi oleh selembar tirai usang.
Sial.
Ia tidak mau pulang tanpa apapun. Ia akan pulang dengan darah jika tanpa
Kristal Naga. Keparat. Ia mengumpat, mengingat semakin lama waktu yang ia
habiskan di ujung tebing ini kian akut kondisi Hilda. Menggigit bibirnya hingga
segaris darah mengalir, Helga mundur beberapa langkah dari pintu. Sebelah
kakinya mengambang di udara, ancang-ancang sempurna sebelum akhirnya menendang—
Pintu
bobrok itu terbuka pada detik di mana pegas melonggar, tungkainya menerjang.
Alih-alih permukaan keras kayu yang ditemui telapak kakinya, sesosok berjubah
terlempar akan tendangannya. Jatuh jauh ke sisi lain rumah, melabrak seperangkat
alat masak dan bahkan lemari besar. Pada embusan napas di mana ia memeroleh
keseimbangannya, dengan langkah lambat nan buas—seakan, tiada rasa bersalah
sama sekali—Helga mendekati sosok berjubah itu.
Sang
juru kunci. Orang yang akan membawa perjalanannya ke hadapan Naga Barat.
Tatapan Helga terpancang pada juru kunci yang tengah berusaha bangkit bagai
mengamati calon korbannya. Tidak, Helga
menggeleng. Helga membutuhkan bantuan sang juru kunci. Dan demi kesembuhan
Hilda, Helga harus bersikap lebih manis. Oh, tapi lihatlah jantung yang
berdetak itu. Hangat. Darah yang mengalir dalam pembuluhnya pasti sepanas
lahar.
Helga
tidak sabar mengurai organ pencernaannya.
Tidak.
Helga
kembali berjalan hendak menolong sang juru kunci. Namun, seolah menepis sopan
santunnya, sang juru kunci melesat dari tempatnya tersungkur. Balik menerjang
Helga, mencengkeram batang lehernya erat, membawa punggungnya menabrak lantai
kayu, keras. Tidak mengantisipasi tindakan tersebut, Helga tersedak dan selama
beberapa saat kehilangan laras pikirannya.
Seakan-akan
Dewi Achla sedang bermain dengan isi kepalanya.
“Apakah
itu cara Iblis Achla masuk ke dalam rumah orang?” desis juru kunci yang berada
di atasnya, membayangi tubuhnya. Sosok di atasnya berwajah rupawan nan anggun,
kontras dengan penampilan Iblis Achla yang terkesan buas.
“Tidak,”
jawab Helga, “biasanya, kami membakar tulang mereka hingga jadi arang.” Helga
menatap langsung ke dua manik indah juru kunci. Tidak ada yang mampu membingkai
sepasang mata cantik itu selain bulu mata lentik milik wanita di atasnya.
Kerutan di dahinya kian dalam mendengar jawaban Helga.
“Oh,
jangan salahkan aku jika malam ini Sang Kematian mencarimu.” Pada detik sang
juru kunci mengucapkan pernyataannya penuh amarah, disorientasi seakan terjadi
pada wajah rupawannya.
Sisik-sisik
berwarna tembaga yang memenuhi wajahnya
hilang-timbul. Lidahnya berubah jadi dua cabang berbisa. Dan perubahan yang
paling signifikan adalah pada sebelah maniknya. Matanya mewujud mata naga
manapun yang sering dituturkan ibu kepada anaknya. Pupil sempit serupa pedang
dan warna keemasan mengelilinginya.
“Kau
adalah Sang Naga,” bisik Helga. Ia tidak tahu mengapa suaranya berubah pelan.
Gelombang keterkejutan menampar kesadarannya tak ubah batu karang yang diempas
ombak. Setengah sadarnya seolah pergi larut bersama empasan gelombang tersebut.
Dari
jari lembutnya mencuat cakar tajam yang berhasil menembus kulit leher Helga.
“Ya, dan biarkan aku membunuh—“
“Tunggu!”
seruan Helga menghentikan niat membunuh Sang Naga. “Dengarkan aku.”
“Kebiasaan
kalian bertutur kata membuatku naik pitam, entah kenapa.”
“Kumohon.”
Helga memasang mimik memelas.
Mengumpat
kesal, Sang Naga beranjak dari atas tubuhnya. Kemudian, mengempaskan bokongnya
ke lantai, duduk bersila. Ia bersedekap dan mengangkat dagunya. Otoritas yang
tampak di matanya menyatakan bahwa Sang Naga tak pernah tunduk akan perintah
siapapun. Dan hanya akan mendengar jika seseorang memohon kepadanya.
Tidak
mau kalah (atau mungkin, mencari mati) Helga duduk sama tegaknya. Menaikkan
dagu lebih tinggi dari milik Sang Naga. Harga dirinya sebagai ketua suku seakan
ditindas mendapati dirinya diperlakukan layaknya sekarang. Ia terbiasa
memerintah, kemudian menghukum. Bukan dipaksa bersimpuh di hadapan orang.
“Kalian,
para kanibal haus darah, terbukti tidak mempunyai sopan santun,” ujar Sang Naga
sengit.
“Apa
yang membedakanmu dari kami?”
“Kau—“
Cuping hidung Sang Naga mengembang, lalu mengempis. Helga seakan mampu melihat
api yang berkobar di dalam dirinya. Terang, penuh amarah, namun berubah lebih
tenang. Tampak Sang Naga sedang mengendalikan diri. “Jelaskan apa maksud kedatanganmu,
Iblis Achla.”
“Sesepuh
Herbjorn berkata aku harus menemuimu demi menyembuhkan adik kembarku. Aku
memerlukan Kristal Naga sebab konon kekuatan magisnya mampu memberikan
vitalitas bagi pemiliknya,” ucap Helga. Lidahnya terasa amat asam ketika menyebut
adiknya. Mengingat ronta, jerit, dan pedihnya. Terasa begitu nyata karena semua
yang melanda Hilda, mesti ia tanggung. Bagai satu kesatuan yang ikatannya
mustahil putus. Dalam beberapa saat tertentu, Helga tidak yakin harus bersyukur
atau mencaci kutukan yang mengikat mereka berdua.
Sebelah
alis Sang Naga naik, tertarik. “Oh.” Namun, apa yang dikeluarkan oleh mulutnya
hanyalah kesinisan tanpa ujung. “Kuharap adikmu sembuh.”
Helga
mendecak. “Ya, tapi penyakitnya tidak biasa. Tiada seorang pun yang pernah
menyaksikan hal semengerikan itu. Aku membutuhkan Kristal Naga untuk—“
“Iblis
Achla, kau tak tahu apa yang kau minta.” Sang Naga berdiri. Dari tempatnya
bersila kini, Sang Naga terlihat sungguh tinggi, berkuasa, dan absolut. Kekuatannya
menguar bahkan menggelitik sisi pengecut Helga—yang tak pernah terusik.
Menelan ludah, Helga
masih berjuang—ini semua demi Hilda. “Aku tahu. Aku membutuhkan Kristal Naga
dan aku akan melakukan apapun asal aku memerolehnya.”
Matanya memandang jauh
ke balik punggung Helga. Untuk sepersekian detik, Helga disuguhi pemandangan
langka akan keprihatinan pada mimik Sang Naga. “Bermalamlah. Bulan sudah
menggantung di langit sana.”
***
Mimpi
membawanya kepada saat-saat menenangkan terbenamnya matahari. Matanya menangkap
gugusan tenda sederhana yang melingkar. Helga berdiri di tengah, tubuhnya yang
tegap nan tinggi membayangi para sesepuh Herbjorn. Tak jarang pikiran Helga
tergelitik akan kenyataan bahwa ketika tiba saatnya nanti tubuhnya akan menciut
dan disingkirkan dari perang seperti para sesepuh di hadapannya.
Yang
teragung dari para sesepuh, melangkah maju, memotong protes Helga. “Pergilah ke Barat dan temui juru kunci Sang
Naga. Hanya kepadanyalah kau menemukan kesempatan untuk menyembuhkan adikmu.”
“Ah,” desah
yang lain bagai mengenang surga berdarah tempat mereka berjaya dahulu. “Kristal Naga.”
“Ya. Kristal Naga.” Yang Teragung
mengangguk setuju. Fokus matanya kembali mencatuk Helga. “Bawa batu itu kemari dan adikmu akan sembuh.”
Helga
memicingkan mata, skeptis. “Bagaimana aku
mengenali Kristal Naga?” suara Helga keluar tak ubahnya pecahan gelas.
Terburai oleh perasaan sayang mendalam terhadap adiknya.
Tapi,
suara yang dituangkan oleh Yang Teragung sejernih air. Mengalir konstan
seolah-olah tahu ke mana arus akan membawanya. “Kau akan mengetahuinya,” ucapnya. “Kita semua ibarat sekumpulan lebah dan Kristal Naga adalah satu-satunya
bunga di ladang gersang tempat kita tinggal.”
Momen itu
berlalu, disapu oleh kenangan yang lebih baru. Helga kembali pada posisi tidak
menguntungkan, berada di bawah dominasi Sang Naga. Sementara cakar tajam itu
mencekik lehernya, Helga menyadari keindahan pada sebelah matanya. Sebagaimana
mata itu sewarna madu, emas, cahaya, dan apapun yang cemerlang. Mata yang
menarik pemerhatinya ke dalam pusaran euforia serta jebakan pesona.
Mata
itu terus membayangi tidurnya bahkan ketika segalanya telah berubah gelap.
Mengiringi tiap detak jantungnya. Menanti embusan napasnya. Sebab dari haus
batang tenggorokannya. Tangan-tangan gelap bagai menggaruk-garuk ambisinya. Hanya
pada detik itulah, Helga mengilhami apa yang dimaksudkan Yang Teragung.
Kita semua ibarat sekumpulan lebah dan
Kristal Naga adalah satu-satunya bunga di ladang gersang tempat kita tinggal.
Kesadaran menyentaknya.
Ia terbangun dengan sorot bulan yang melintasi jendela, menyinari cucuran
peluhnya. Pakaian kulitnya lembab akibat keringat dingin yang dihasilkan punggungnya.
Detak jantungnya bagai ritme gendang yang cepat, kencang, dan tidak teratur. Napasnya
berembus keluar dari antara bibirnya, memburu sesuatu seperti waktu.
Matanya adalah Kristal Naga. Berteguh
pada keyakinan itu, Helga meraih sarung pedangnya dan dengan langkah goyah
selayaknya anak rusa, ia berjalan menyisiri lantai kayu. Derit yang dihasilkan
adalah bebunyian sehalus kepakan sayap serangga, namun, masih menggenggam
gagang pedangnya, Helga meningkatkan kewaspadaan.
Ketika
sampai di hadapan pintu kamar Sang Naga, Helga tidak membiarkan sebutir peluh
atau satu napasnya pun keluar. Ia harus melakukan ini secermat ular. Cepat,
tepat, sunyi. Membuka pintu, Helga masuk tanpa membuang-buang waktu. Kamar
tersebut diterangi oleh sinar bulan remang-remang. Dengkur Sang Naga lolos dari
bibirnya, sampai pada genderang telinga Helga.
Masih
mengendap-endap, Helga mendekati Sang Naga. Sehening geming. Menyatu dengan
kegelapan, dengan malam. Dengan sorot bulan. Laras napasnya sama dengan Sang Naga.
Langkahnya mengekori turun naik punggungnya. Kedipan matanya tertunda oleh visi
akan aliran darah yang terbungkus pembuluhnya. Dekati, tikam matanya—makan. Lezat. Pasti.
Helga
membalikkan tubuh Sang Naga sehingga wajahnya menghadap Helga. Tindakan kecil
itu ternyata mengusik ketenangan Sang Naga. Matanya membelalak terkesiap oleh
sosok yang ada di hadapannya—mengacungkan pedang, siap menusuk. Sebelum Sang Naga mampu berkutik maupun mengucapkan selamat
tinggal, Helga telah membiarkan mata pedang memenggal kepalanya.
Dengan
satu renggutan brutal, Helga mencuri matanya. Dengan satu pompaan hasrat dalam
dirinya, Helga mulai menggerogoti daging lembut Sang Naga. Lezat.
***
Helga
mengangkat tinggi-tinggi Kristal Naga dan membiarkannya dilalui sejalur
pancaran fajar. Kristal itu bercahaya, berpendar lembut. Keindahannya tidak
sebanding dengan permata kaum manusia manapun. Seakan-akan sang surya
mencintainya. Menonjolkan keindahannya yang tiada tara.
Tapi,
ini semua untuk adik kembarnya. Hilda adalah satu-satunya orang yang akan
menerima berkah dari Kristal Naga. Hanya dengan kekuatan magis kristal adiknya
akan tersembuhkan. Hilda tidak perlu merasakan kesakitan luar biasa lagi.
Penyiksaan yang bagai menggerogoti dikit demi dikit kelangsungan jiwa mereka.
Sebab, bagaimanapun juga, mereka berdua diciptakan untuk saling melindungi.
Mengembalikan
Kristal Naga ke genggaman kuatnya, Helga melanjutkan langkah-langkah lebarnya
menuju perkemahan suku Herbjorn. Indranya disambut oleh berbagai hal yang ia
rindukan selama perjalanannya mencari Kristal Naga. Denting logam latihan,
alunan tawa anak-anak, jeritan kesakitan para tawanan, sembah puja pada Achla,
aroma daging bakar, dan tatapan penuh sanjungan yang ditujukan hanya kepadanya.
Sang kepala suku, Helga Herbjorn, yang dicintai Achla.
“Helga.”
Salah seorang sesepuh mendekatinya. Ia memandangi genggaman tangan Helga yang
kuat. “Aku tahu kau pasti kembali membawanya.”
Senyum
miring sarat bangga mekar di wajahnya. “Di mana Hilda? Yang Teragung? Ia perlu
menyembuhkan adikku.”
“Ikuti
aku.”
Langkah
Helga mantap dan pasti dan penuh harapan. Harapan bahwa setelah ini Hildanya
tersayang akan sembuh. Tiada lagi teriak pedihnya. Tiada lagi beban dalam
hatinya yang harus Helga rasakan pula. Adik kembarnya akan sembuh. Dan setelah
itu, mereka akan memburu dan membantai bersama, seperti yang dulu.
Berlarian
serta beradu di antara hijau hutan. Menumpas kedamaian dan menghidupkan
kekacauan di tiap injakan mereka. Menari di antara mayat juga tumpahan darah.
Bersama-sama merasakan nikmatnya membunuh. Menyaksikan senyum di wajah
semasing.
Anomali
penyakit yang diidap Hilda adalah apa yang menjadikan segala hal itu lenyap.
Helga akan menghidupkannya—lagi. Pasti.
Sang
sesepuh membawanya masuk ke dalam tenda—napas Helga tercekat. Adiknya jatuh
berlutut. Yang Teragung mengacungkan sebilah pedang setinggi bahunya. Ketika
mata yang merah akan tangis itu menemui sosok Helga, Hilda meraung, “HELGA!” Lalu,
diikuti tebasan cepat pada lehernya.
Dalam
sekejap, tanpa sempat menghirup satu napas untuk yang terakhiri kali, Helga
mendesis merasakan jiwanya pergi melayang. Kepalanya seakan lepas sebagaimana Kristal
Naga itu pergi dari genggamannya. Hanya untuk menemui pemiliknya yang baru.
Suara
Yang Teragung menggema sebelum bisu kegelapan menelannya, “Kau memudahkanku
menaklukan dunia dengan membawakan Kristal Naga kepadaku, Helga Herbjorn.” []