YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 18 Juni 2015

Hanya Sepotong Kecil Cerita

Hujan selalu datang beserta isyarat. Merupa kelabu yang memenuhi langit kota dan setelahnya adalah jatuhan rintis. Tetes tumpah gumpalan awan menempel pada kaca-kaca kafe, dinding-dinding benak. Berdiam sesaat hanya untuk kemudian meleset temui tanah. Tinggal lama dalam ruang pikiran, menarik, menjebak, aroma jua rasa, memunculkan pertanyaan; mengapa datang dengan berbagai hal di tangan, namun bisa sekadar merasakan mau memilikinya pun sebatas angan-angan?

"Aku perlu meluruskan ini semua," ia yang ada di hadapanku berkata. Kendati petir menyambar jauh dari kubus bernama kafe, aku bisa menerka macam gemuruh yang diemban suaranya.

Suara yang mana kupahami seluk bentuk beluknya. Sebab, kala tidak bertemu, aku akan memutar suara itu mengenang lalu tersenyum. Dan ketika diperangkap lelap, suara itu mengisi mimpi, terang-gelap. Aku mengenal suara itu terlampau jauh, aku tahu adalah gemuruh yang bersembunyi di balik lakunya.

Aku berangkat dari kursi kafe yang biasa kudapati nyaman. Untuk alasan entah, kini kursi tersebut seolah-olah menelanjanginya dengan ribu ketidaknyamanan.

"Jangan pergi." Tangannya menggapai tanganku. "Kita harus bicara."

Tidak, hatiku berseru. Tapi, aku kembali berada di hadapannya, menatap gelisah di matanya. Alisku meragu, mengangkat yang dijawab dengan tarikan pelan napasnya.

"Kita telah kenal lama, Rama. Aku tahu apa yang kamu lalukan pada umur sembilan, aku tahu pada umur tiga belas siapa yang kau idam-idamkan. Kita telah mengenal lama. Terlampau lama. Sampai-sampai kita menyadari perasaan tabu yang seharusnya tak kita rasakan untuk sesama," ujarnya. Jemarinya menekuk dan membuka. Sebuah indikasi bahwasanya, kegugupan melandanya.

"Aku--"

"Tidak, dengar. Aku tidak bisa meneruskan ini semua. Masyarakat tidak menginginkan kita. Omelan kecil istriku kini adalah amukan yang sering kali membangunkan bayiku. Dan kian kupikirkan--"

Aku menutup mataku, meresapi tarikan napas yang kala itu diambilnya. Tarikan napas yang hanya berputar pada relung paru-parunya. Tarikan napas yang mampu menenangkan dirinya. Dahulu, kau tak perlu melakukannya, sebab pelukanku akan menyelaraskan pikiranmu, pikirku. Dahulu. Betapa pahit tiga suku kata itu memutar lidahku.

Ia mengeluarkan tekanan yang memenuhi paru-parunya. "--kita memerlukan jarak. Aku berkeluarga, begitu juga kamu. Keluargaku membutuhkan aku, begitu pula milikmu. Apa yang akan mereka katakan begitu mengetahui aku--"

"Mencintai sesama jenis?"

"Ya."

"Apakah itu menjijikan bagimu?" Aku merasakan bibirku bergetar. Entah karena hujan yang menggigilkan diri atau sakit di hati.

"Ya."

Sakit tersebut berubah pahit. Bergejolak dan meledak. Mencapai lidah, mencapai bibir. Menghias senyumku. "Aku mengerti."

Dan yang kesekian kalinya selama aku mencintaimu: segalanya jauh lebih mudah jika kau tidak membuatku jatuh pada ilusi bernama cinta itu. Segalanya akan jauh lebih mudah jika aku tidak mencintaimu. Namun, sebetapa beratnya aku mencoba tak mencintaimu, aku tidak bisa.

Aku jadi bertanya-tanya, mengapa bagimu semudah itu?

15. 6. 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar