YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 04 Desember 2015

Mati Rasa

seakan-akan aku tak mengenal apapun selain hadirmu.

jumat, 4 desember 2015.

Sentuhan Kecil

sebuah sentuhan kecil, sayang. singgungan ringkas atas perasaan cinta yang diutarakan malu-malu.
sekecup bibirku pada pipimu,
lalu ciummu di wajahku.
di hadapan saksi horizon biru laut jernih,
di naungan langit cerah matahari tak gerah,
seiring embus angin yang bermain dengan ikalku,
sembari ia membawa pergi rahasia kecil mengenai sentuhan kita.

ciuman pertamamu, sayang. pada pipiku, setidaknya.

jumat, 4 desember 2015.

Genggaman

tanganmu yang memeluk telapak tanganku.

hangat.

Sayang,

aku mencintaimu dengan kata yang tiada.

Minggu, 05 Juli 2015

Kepada Kamu

Ibarat aku adalah sebuah tulisan, maka kau ialah apa-apa.

Kau adalah huruf kapital, yang mengawali, yang ada pada detak detik penting, simbolik.

Kau juga huruf kecil, selalu ada melekat dekat awal, tak jarang juga dekat penghabis hari, penghabis kalimat, mengiringi tulisan dengan sabar karena kamu tahu tanpa dirimu, huruf-huruf besar akan jadi tak bermakna. Aku kelak tanpa makna.

Jangan lupa koma, kau adalah dia. Dia, koma yang memberi jeda tenang pada tulisan panjang, jeda tenang penjelas makna--arti-arti yang semayam di dalam kata--segala makna, jeda tenang pelanjut apa yang tak menghabis; momen-momen kita.

Momen yang biasanya berakhir dalam tanda tanya. Oh, itu juga kau: tanda tanya. Pengakhir momen yang paling skeptis, benarkah habis atau tak habis. Tanda tanya tanda yang bengis sekaligus manis. Meski tanya demi tanya selalu ada usai sehari dan sehari dan sehari, namun kita mendalaminya bersama. Mendalami sebuah jawaban, entah ada atau tiada. Dan lagi ini membuatku bertanya; apakah jawaban atas segala pernah ada--setidaknya bagi kita? Tapi kemudian, keindahan kilat tak pernah pada di mana dia jatuh, sayang. Namun, lekat di kelok cahaya kilat zigzag yang menebar kagum pada segelintir kita.

Setelah segala datar, koma, dan turun itu, kamu juga adalah tanda seru. Bukan perintah, aku lebih suka menyebutnya seru. Sebuah tanda yang akan selalu dibaca dengan intonasi naik. Kau tak membiarkan aku (dan kita, mungkin) mendatar terus condong turun. Kau memberikan sensasi, angin yang datang cepat menakjubkan tak terlupakan. Tapi sesungguhnya, kau adalah segala angin, angin lembut angin kencang angin brutal angin penghancur angin pengawal. Dan kalaupun sebagai angin kau hanya berdiam, kau tetap segalanya.

Titik. Aku yakin kau juga titik. Menutup manis, menutup tangis, menutup gembira, menutup amarah. Menyelesaikan tulisan apapun yang digelut perasaan.Titik bukan berarti akhir, selalu ada titik-titik lain. Titik lain yang jadi akhir dari tulisan lain. Tulisan yang tak akan habis, kurasa, selama aku mengharapkannya. Selama kita mengharapkannya. Sepanjang kita mengusahakannya. Lihat? Bukanlah titik yang mengakhiri tulisan. Tapi adalah kita.

Kau adalah segala, keteraturan dan ketidakteraturan dalam tulisan. Kenyataan yang membuatku memikirkan kemungkinan. Juga ilusi yang membuatku meragukan kepastian. Dan sekalipun kau adalah bukan apa-apa; aku tetap mencintaimu, nyata atau maya. Siapa yang peduli dengan nyata maya?

Namun, aku bisa menjamin satu hal, hanya sebuah kepastian dari sekian perkiraan ribuan pertanyaan dan ketakpastian; perasaan ini ada.

Teruntuk dirimu yang kupanggil Harta Berharga, Schatz.

05.07.2015

Di sebuah kamar dengan adik laki-laki berbaring risih dengan permainannya.

Kamis, 18 Juni 2015

Hanya Sepotong Kecil Cerita

Hujan selalu datang beserta isyarat. Merupa kelabu yang memenuhi langit kota dan setelahnya adalah jatuhan rintis. Tetes tumpah gumpalan awan menempel pada kaca-kaca kafe, dinding-dinding benak. Berdiam sesaat hanya untuk kemudian meleset temui tanah. Tinggal lama dalam ruang pikiran, menarik, menjebak, aroma jua rasa, memunculkan pertanyaan; mengapa datang dengan berbagai hal di tangan, namun bisa sekadar merasakan mau memilikinya pun sebatas angan-angan?

"Aku perlu meluruskan ini semua," ia yang ada di hadapanku berkata. Kendati petir menyambar jauh dari kubus bernama kafe, aku bisa menerka macam gemuruh yang diemban suaranya.

Suara yang mana kupahami seluk bentuk beluknya. Sebab, kala tidak bertemu, aku akan memutar suara itu mengenang lalu tersenyum. Dan ketika diperangkap lelap, suara itu mengisi mimpi, terang-gelap. Aku mengenal suara itu terlampau jauh, aku tahu adalah gemuruh yang bersembunyi di balik lakunya.

Aku berangkat dari kursi kafe yang biasa kudapati nyaman. Untuk alasan entah, kini kursi tersebut seolah-olah menelanjanginya dengan ribu ketidaknyamanan.

"Jangan pergi." Tangannya menggapai tanganku. "Kita harus bicara."

Tidak, hatiku berseru. Tapi, aku kembali berada di hadapannya, menatap gelisah di matanya. Alisku meragu, mengangkat yang dijawab dengan tarikan pelan napasnya.

"Kita telah kenal lama, Rama. Aku tahu apa yang kamu lalukan pada umur sembilan, aku tahu pada umur tiga belas siapa yang kau idam-idamkan. Kita telah mengenal lama. Terlampau lama. Sampai-sampai kita menyadari perasaan tabu yang seharusnya tak kita rasakan untuk sesama," ujarnya. Jemarinya menekuk dan membuka. Sebuah indikasi bahwasanya, kegugupan melandanya.

"Aku--"

"Tidak, dengar. Aku tidak bisa meneruskan ini semua. Masyarakat tidak menginginkan kita. Omelan kecil istriku kini adalah amukan yang sering kali membangunkan bayiku. Dan kian kupikirkan--"

Aku menutup mataku, meresapi tarikan napas yang kala itu diambilnya. Tarikan napas yang hanya berputar pada relung paru-parunya. Tarikan napas yang mampu menenangkan dirinya. Dahulu, kau tak perlu melakukannya, sebab pelukanku akan menyelaraskan pikiranmu, pikirku. Dahulu. Betapa pahit tiga suku kata itu memutar lidahku.

Ia mengeluarkan tekanan yang memenuhi paru-parunya. "--kita memerlukan jarak. Aku berkeluarga, begitu juga kamu. Keluargaku membutuhkan aku, begitu pula milikmu. Apa yang akan mereka katakan begitu mengetahui aku--"

"Mencintai sesama jenis?"

"Ya."

"Apakah itu menjijikan bagimu?" Aku merasakan bibirku bergetar. Entah karena hujan yang menggigilkan diri atau sakit di hati.

"Ya."

Sakit tersebut berubah pahit. Bergejolak dan meledak. Mencapai lidah, mencapai bibir. Menghias senyumku. "Aku mengerti."

Dan yang kesekian kalinya selama aku mencintaimu: segalanya jauh lebih mudah jika kau tidak membuatku jatuh pada ilusi bernama cinta itu. Segalanya akan jauh lebih mudah jika aku tidak mencintaimu. Namun, sebetapa beratnya aku mencoba tak mencintaimu, aku tidak bisa.

Aku jadi bertanya-tanya, mengapa bagimu semudah itu?

15. 6. 2015

Hujan

Terindah sebelum jatuh.